PROSUMUT – Memutus rantai penularan penyakit kusta butuh penanganan bersama. Salah satu faktornya, karena proses pengobatannya memakan waktu cukup lama.
“Penyakit kusta proses pengobatannya adalah yang paling lama, sehingga dalam penanganannya harus dilakukan bersama-sama.
Seperti halnya dengan TB (Tuberkulosis), kalau ada kasus kita bergerak semua. Bergerak bukan hanya untuk pasien saja, tetapi di sekitarnya juga. Itu pun ada obat khusus,” ujar Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Medan, Helena Rugun Nainggolan kepada wartawan, Senin 3 Februari 2025.
Menurut Rugun, dalam menangani penyakit kusta, pihaknya tetap berkoordinasi dengan Kemenkes dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumut.
“Terutama adalah mengenai masalah penyediaan obat dan deteksi,” ucapnya.
Sementara itu, Kabid Pencegahan Penyakit Menular (P2P) Dinas Kesehatan Kota Medan dr Pocut Fatimah Fitri mengatakan pihaknya ada menangani 36 kasus penyakit kusta yang ditemukan pada rentang waktu 2023 hingga 2024.
“Total ada 36 kasus, tetapi itu ada yang sudah selesai minum obat dan ada yang masih berjalan. Kusta ini termasuk pengobatan penyakit menular jangka panjang, pengobatannya setahun,” jelasnya.
Menurut Pocut, untuk memutus rantai penularan penyakit kusta tergolong rumit, sama seperti halnya dengan penyakit TB.
Sebab, penyakit kusta ini bisa menimbulkan stigma dan diskriminasi di lingkup sosial tempat tinggalnya.
“Penderitanya merasa malu jika sampai tetangganya mengetahui kalau dia sakit (kusta),” sebutnya.
Dijelaskan Pocut, penyebaran kusta berasal dari bakteri mycobacterium leprae. Penularannya terjadi akibat kontak erat lama (berulang) dengan penderitanya, salah satunya melalui pernapasan.
‘Penderita kusta yang umum ditemukan di pinggir jalan sebetulnya adalah mantan (penderita) yang sudah berobat, namun kecacatannya tidak bisa dipulihkan. Akan tetapi, mereka umumnya adalah pendatang bukan asli warga Medan.
Memang kusta ini jadi masalah sosial. Kalau mereka jualan pun orang takut, jadi sulit,” pungkasnya. (*)
Reporter: Nastasia
Editor: M Idris