Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)
PROSUMUT – Uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK yang diselenggarakan oleh Komisi III DPR pada 19 November 2024 terhadap calon komisioner KPK Johanis Tanak menuai kontroversi di antara penggiat dan pemerhati anti korupsi di Indonesia.
Pernyataan dan janji Johanis dalam uji kelayakan yang ingin menghapuskan Operasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) itu disampaikannya kepada penguji Komisi III DPR dalam momen uji kelayakan dan kepatutan untuk menjadi pimpinan KPK menuai pro kontra di antara penggiat dan pemerhati anti korupsi.
Johanis Tanak berkilah bahwa OTT tidak sesuai dengan KUHAP dan keberlangsungan OTT selama ini hanyalah tradisi di KPK yang tidak sesuai dengan pengertian Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Seakan mendapatkan respons yang sependapat dengan para anggota DPR itu, pernyataan Johanis mendapatkan applaus tepuk tangan dan mendapatkan dukungan dari para anggota legislatif itu yang kemudian memenangkan Johanis Tanak menjadi salah satu pimpinan KPK dalam pemungutan suara dari para anggota Komisi III DPR.
Ibaratnya golok ketemu dengan sarungnya, klop begitulah akhir pemilihan pimpinan KPK untuk masa kepemimpinan 2024 – 2029 ini.
Johanis Tanak beserta empat calon pimpinan KPK lainnya yaitu Komjen Setyo Budianto, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo dan Agus Joko Pramono terpilih menjadi pimpinan KPK untuk masa lima tahun ke depan.
Memang, istilah Operasi Tangkap Tangan tidak ada dalam KUHAP, yang tercantum adalah istilah ‘Tangkap Tangan’.
Namun Johanis dan penguji di Komisi III DPR mestinya tidak melupakan bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang selama ini dilakukan oleh KPK bukanlah perbuatan illegal yang tidak sesuai KUHAP, melainkan hanyalah sekedar istilah untuk menjelaskan salah satu strategi pemberantasan korupsi secara represif untuk mendatangkan rasa jera dan sebagai pengingat yang efektif untuk tidak berbuat korupsi.
Bahkan di swalayan atau tempat umum sekalipun dibuatkan peringatan tertulis bahwa di area tertentu dipasang CCTV sebagai pengingat untuk tidak berbuat kejahatan.
Dan, selama ini strategi OTT yang dimulai kegiatannya secara terencana semenjak tahapan penyelidikan pastilah bukan berarti dilakukan untuk tujuan menjadikan seseorang menjadi target operasi tanpa alasan, melainkan berdasarkan pada red flag atau warning dan whistel blowing selama penyelidikan korupsi berlangsung.
Fakta menunjukkan bahwa dominan efektivitas KPK selama ini dalam pemberantasan korupsi justru diperoleh dari hasil Operasi Tangkap Tangan, yang disamping pembuktian perbuatan korupsi yang mudah pembuktian pidana nya, juga memberi efek preventif. Efek pengingat untuk mencegah seseorang melakukan perbuatan pidana korupsi.
Sebagai ilustrasi, pengalaman yang pernah dialami oleh penulis semasa aktif menjadi auditor pemerintah, dimana suap menyuap sangat besar peluangnya dalam kegiatan pemberantasan korupsi.
Suatu saat dalam kegiatan investigatif yang dilakukan terhadap salah satu kepala daerah yang terindikasi korupsi, sang kepala daerah menyerahkan kardus berisi uang tunai dalam jumlah yang diperkirakan melebihi gaji sebagai ASN selama bertahun tahun.
Sebenarnya, sebagai seorang ASN tidak bisa dipungkiri adanya keinginan mendapatkan uang besar dalam situasi kekurangan dana saat melaksanakan tugas yang memerlukan biaya besar dalam sebuah operasi dan tidak dapat dipenuhi oleh kantor yang terbatas secara anggaran kedinasan.
Pembenaran dengan dalih kekurangan anggaran inilah yang seringkali menjadi alasan para penegak hukum dan ASN untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya sehingga malah berbuat fraud.
Namun rasionalitas untuk melakukan perbuatan fraud seringkali dibayangi oleh risiko tertangkap tangan yang pada saat itu masih marak aksi OTT nya oleh KPK sehingga mengurungkan perbuatan fraud itu sendiri.
Jadi, di samping sebagai strategi represif ternyata OTT juga dapat bersifat preventif dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pengelola negara bukanlah malaikat yang bebas dari keinginan berbuat fraud, namun dengan sistem dan operasi yang ada, di mana salah satu nya adalah kegiatan OTT yang dilakukan secara intens, ternyata secara langsung mampu membuat orang untuk berpikir rasional untuk tidak berbuat korupsi, mengingat risiko OTT yang mengintai.
Kegiatan OTT itulah yang ingin dihilangkan oleh pimpinan KPK lima tahun mendatang ini, salah satu aksi KPK yang masih efektif dalam strategi represif pemberantasan korupsi dan selama ini mendapatkan applaus di masyarakat.
Bila kegiatan OTT itu dihilangkan, apakah lagi bedanya lembaga adhoc semacam KPK ini dengan lembaga resmi negara semacam Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini juga aktif dalam operasi pemberantasan korupsi. Apakah memang KPK lebih berintegritas dibanding lembaga pemberantas korupsi lain nya?
Integritas itu dapat berubah dan mempunyai ketergantungan dengan sistem dan operasi, oleh karena itu mestinya sistem dan operasi yang masih terbukti efektif mengapa harus dihilangkan?
Kita menantikan aksi selanjutnya KPK dibawah kepemimpinan kelima komisioner baru yang telah terpilih ini.
Apakah akan meningkatkan integritas secara nasional dan memperbaiki indeks persepsi korupsi atau justru menjadi peluang bagi para koruptor untuk lebih berani karena menghilangnya bayang bayang OTT, wallahualam bissyawab. (*)
Editor: M Idris