PROSUMUT – Berbeda dengan film layar lebar, film-film pendek Indonesia sepertinya tak mendapat tempat untuk eksis. Terbukti beberapa judul seperti Senyap, Turah, Istirahatlah Kata Kata tidak mendapatkan perhatian penonton dalam negeri.
Nasib yang sama juga dialami film pendek berjudul “Anak Lanang” atau “The Sons” yang disutradarai Wahyu Agung Prasetyo.
Film Anak Lanang (The Sons) tidak ditayangkan di bioskop. Pertama kali dirilis, film ini tayang dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2018.
Tapi, meskipun antusiasme warga Yogyakarta dan para pecinta film tinggi kala itu, daerah lain mungkin tak mengenal bahkan tak tahu jika ada karya anak bangsa yang mendapat penghargaan di luar negeri.
Dan, ibarat balasan apresiasi rendah itu, “Anak Lanang” berhasil menyabet penghargaan di Indonesian Film Festival (IFF) untuk kategori Outstanding Achievement dalam Australia ke-14 dalam Short Film Competition.
Film Anak Lanang (The Sons) menceritakan tentang 4 bocah laki-laki SD yang baru saja pulang sekolah. Keempatnya pulang bersama naik satu becak, dua duduk di atas dan dua lagi di bagian bawah atau biasa dipakai untuk penumpu kaki.
Obrolan mengalir dengan cepat, menggunakan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan tak ada hierarki antara bocah-bocah dan tukang becaknya.
Meski hanya 15 menit film ini mampu menyampaikan pesannya dengan baik. Dimana saat ini anak-anak tidak lagi memperhatikan bahasa kepada orang yang lebih tua.
Sebab, dalam budaya Jawa, cara bicara saja diatur. Kepada orang yang lebih tua, usahakan menggunakan krama inggil, bukan ngoko seperti ketika bicara pada teman sebaya.
Namun terlibas perkembangan zaman, tak banyak bocah-bocah Jawa yang menerapkan hal tersebut sekarang. Pesan ini juga ingin disampaikan rupanya oleh sang sutradara. Terlebih lagi, tukang becaknya terlihat “kolot” dengan menyebut orang Amerika pintar-pintar.
Layakya bocah SD pada umumnya, karakter Danang, Sigit, Yudho, dan Samsul membicarakan PR dan persewaan PlayStation (PS).
Mereka pun sampai pada pembicaraan Hari Ibu, ketika Sigit—anak paling pintar dalam rombongan becak memperingatkan teman-temannya untuk mengucapkan selamat pada ibu masing-masing, seperti yang dicontohkan guru di sekolah. Tukang becak pun nimbrung dengan memberi pertanyaan, siapa orang yang menciptakan Hari Ibu. Pakdhe Karno (Ir Soekarno) dan Budhe Kartini (RA Kartini) adalah jawaban dari bocah-bocah.
Namun dibantah oleh sang tukang becak dan menurutnya, Hari Ibu adalah ciptaan orang Amerika.(*)