Oleh : Hotlan Damanik. SH., MH
Artikel ini dibuat dalam rangka seleksi Komisaris Independen PT Pupuk Kaltim
Pupuk adalah material tambahan yang dibutuhkan oleh tumbuhan yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan hara sehingga tumbuhan dapat tumbuh dan menghasilkan kualitas tumbuhan yang unggul. Pupuk terbagi menjadi dua jenis bahan yaitu pupuk bahan organik dan pupuk bahan non-organik. Selain itu pupuk juga memiliki banyak macam jenis bentuk seperti pupuk berbentuk yaitu padat/cair organik dan pupuk berbentuk padat/cair non-organik (Nuraini, 2007).
Umumnya komponen utama dalam tata niaga pupuk bersubsidi ini adalah jenis pupuk jenis NPK, Urea, ZA, dan SP-36, yang mana penerima utama pupuk bersubsidi ini adalah petani yang menggarap lahan kecil dan menanam tanaman pangan dan palawija musiman, seperrti padi, jagung, kentang, tomat, cabai, dan lainnya. Jenis pupuk di atas memang sangat dibutuhkan petani untuk mempercepat proses produksi pertaniannya dan menjaga kesuburan lahan yang digunakan sebagai media tanam. Misalnya saja Urea adalah pupuk nitrogen tinggi yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Konsentrat ini juga dimiliki oleh NPK yang merupakan pupuk majemuk yang mengandung nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K), dimana terdapat tiga unsur hara makro esensial yang dibutuhkan tanaman. Adapun pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan organik seperti kompos atau pupuk kandang.
Untuk memproteksi petani sejauh ini pemerintah sudah menyusun sederet beleid dan kebijakan tata niaga pupuk bersubsidi agar pupuk dengan harga relatif terjangkau dengan rantai distribusi yang sederhana dapat didapatkan oleh petani, khususnya petani dalam skala paling kecil, sehingga produktivitas pertanian mereka bisa stabil dan terus meningkat. Proses tata niaga pupuk bersubsidi yang dilakukan pemerintah selama ini mengacu pada ketentuan per-UU-an yang meliputi bahwa secara umum pupuk bersubsidi diproduksi oleh perusahaan pupuk yang ditunjuk pemerintah.
Proses distribusinya dimulai dari pabrik ke gudang distributor, kemudian ke pengecer yang menyalurkan pupuk kepada kelompok tani atau petani langsung. Proses distrIbuisi ini berjalan dengan pengawasan pemerintah melalui dinas pertanian dan instansi terkait setempat. Realitas di lapangan sesungguhnya lebih rumit dari sekadar menyusun aturan dan kebijakan. Data kebocoran dan penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi yang muaranya dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak berhak ibarat data gunung es. Jumlah kasusnya dipastikan lebih banyak dari yang dapat ditemukan dan diungkap pihak aparat hukum. Padahal dalam rantai distribusinya, pemerintah selalu melibatkan kelompok tani setempat, yang merupakan organisasi petani yang menjadi perantara antara petani dan pengecer. Dimana sejujurnya letak missing-link yang terkesan sulit dihentikan ini?
Makalah ini bertujuan untuk mengurai problematika dalam mengawasi peredaran (distribusi) pupuk bersubsidi, serta bagaimana masalah yang terus membelenggu petani ini bisa terurai dengan tepat dengan strategi yang efektif. Di satu sisi, bagaimana peran PT Pupuk Kaltim sebagai pabrik milik pemerintah (BUMN) ikut membantu mencegah penyelewengan distribui pupuk bersubsidi tersebut di era digital. |
Jika berjalan secara benar sesungguhnya tata niaga pupuk bersubsidi yang berlaku selama ini sangat efektif menjadi jaring pengaman bagi para petani berlahan sempit untuk menghidupi dan menyejahterakan kehidupan mereka. Sebagaimana tertuang dalam rencana strategis Pemerintah RI c/q Kementerian Pertanian bahwa tata niaga pupuk bersubsidi ini bertujuan:
- Menjamin ketersediaan pupuk. Hal ini ditujukan agar petani selalu mendapatkan pupuk dengan harga terjangkau.
- Meningkatkan produktivitas pertanian. Dengan penggunaan pupuk yang tepat diharapkan hasil panen petani meningkat.
- Menstabilkan harga pangan: Produksi pertanian yang meningkat diharapkan dapat menjaga stabilitas harga pangan.
- Mendukung ketahanan pangan nasional. Dengan meningkatkan produksi pangan terntunya ketahanan pangan nasional dapat terjaga (Alhakim, A., & Chai, 2023).
Empat poin di atas menjadi dasar pemikiran pemerintah kenapa tata niaga pupuk bersubsidi ini diplot menjadi salah satu prioritas dalam rencana starategis (Renstra) Kementerian Pertanian.
Perhatian pemerintah terhadap petani berlahan sempit atau terbatas menjadi relevan melihat pertanian adalah tulang punggung ketahanan pangan nasional karena tolok ukur itu becermin dari berbagai program pertanian sejak masa Orde Baru (Pelita I – Pelita IV), yang meletakkan skala pertumbuhan ekonomi nasional berbasis agraris untuk bergerak maju menuju negara industri yang mempertahankan basis agraris.
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo impian sebagai negara swasembada pangan yang akarnya disemai pada masa Orde Baru dulu direvitalisasi dengan berbagai proyek pertanian mercu suar seperti food estate yang praktiknya berupaya memberdayakan para petani dengan kepemilikan lahan terbatas. Di luar areal food estate, impian swasembada pangan ini terus dihidupkan dalam cita-cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang terpilih sebagai Presiden RI periode 2024-2029 pada Pilpres 14 Februari 2024 silam.
Setinggi dan semulia apapun cita-cita itu tentulah mustahil terealisasi jika infrastruktur pertanian yang menjadi syaratnya justru tidak diproteksi secara serius oleh pemerintah sebagai ”induk semang” para petani. Alhasil, penyaluran pupuk bersubsidi yang terjangkau dan tepat sasaran hanya akan mimpi di atas kertas pada era pemerintahan mana pun. Penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani sejatinya selaras dengan prinsip 7 tepat (tepat jenis, tepat jumlah, tepat tempat, tepat mutu, tepat waktu, tepat sasaran dan tepat harga).
Faktanya, sampai saat ini berbagai permasalahan pupuk masih sering terjadi, antara lain kelangkaan pupuk (terutama saat musim tanam), harga yang melebihi HET, dan pembelian oleh petani tidak di Kelompok Tani yang sesuai dengan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
Dari literatur yang penulis himpun, pada dasarnya untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah telah memiliki Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) mulai di tingkat pusat maupun daerah (provinsi maupun kabupaten/kota), yang mana kegiatan pengawasan dilakukan mulai pengadaan, peredaran, penyimpanan, dan penggunaannya. Namun, entah bagaimana KPPP ini juga masih belum tajam mengawasi kasus-kasus di lapangan (Nuraini, 2007).
Berbagai permasalahan sebagaimana disebutkan sebelumnya, menurut pandangan penulis seyogyanya tidak perlu terjadi bila peran KPPP sebagai lembaga pengawasan pupuk dapat berjalan secara optimal. Hal tersebut diperkuat dengan hasil kajian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian bahwa keberadaaan petugas KPPP baik provinsi maupun kabupaten/kota belum optimal dalam mengatasi permasalahan di lapangan. Hal itu disebabkan karena kurangnya dukungan anggaran operasional di samping belum optimalnya kinerja komisi tersebut, serta lemahnya pemahaman mekanisme pengawasan (Putri, N. S. D. R., & Rohmah, 2024).
Dalam berbagai referensi ilmiah dan populer, termasuk pengalaman penulis selama bertugas sebagai penyidik Polri, setidaknya ada tiga poin penting yang seringkali ditemukan dalam problematika pupuk bersubsidi, yaitu:
- Penyelewengan
Penjualan di atas harga eceran tertinggi (HET), teermasuk di dalamnya kasus penjualan kepada non-petani atau pengurangan kuota.
- Kualitas pupuk
Temuan pupuk palsu atau kualitasnya yang tidak sesuai standar.
- Birokrasi
Proses penyaluran pupuk seringkali melibatkan birokrasi yang panjang dan rumit sehingga petani terpaksa membeli dengan harga yang lebih tinggi atau memberli lewat distributor yang tidak ditunjuk pemerintah.
PERMASALAHAN
Hasil penelusuran penulis senada dengan artikel Sudjono (2011). Masalah distribusi pupuk bersubsidi ternyata sudah lama menjadi persoalan yang belum terpecahkan dalam kebijakan pertanian di Indonesia. Terutama setelah pergeseran dari paradigma “protektif” di masa lalu menuju paradigma “pasar bebas” (Ilham, 2002 dalam Sudjono, 2011). Sebagai contoh adalah kasus kelangkaan pupuk di beberapa daerah dan sentra pertanian, penyelundupan pupuk ke luar negeri, perembesan pupuk bersubsidi ke pasar non-subsidi, lonjakan harga di tingkat kios pengecer di atas HET (harga eceran tertinggi), perembesan antar wilayah, dan sebagainya (Kariyasa dan Yusdja, 2005 dalam Sudjono, 2011).
Jika ditinjau dari sejarah kebijakan sesungguhnya akar seluruh problematika ini bermula saat perubahan sistem tata kelola pupuk subsidi secara nasional. Penyaluran pupuk bersubsidi pada awalnya menggunakan sebuah sistem yang dikendalikan melalui campur tangan pemerintah secara langsung (fully regulated), terutama pada periode 1979-1998 untuk menunjang program swasembada pangan (Masnun, M. A., & Astanti, 2020). Pengendalian penuh terhadap penyaluran pupuk, secara empiris berhasil mempertahankan stabilitas pasokan pupuk nasional dan menunjang keberhasilan Indonesia mencapai swasembada pangan.
Pada periode ini, pabrik-pabrik pupuk milik pemerintah (BUMN) dibangun di berbagai wilayah untuk menjamin kelancaran penyediaan pupuk nasional, termasuk diantaranya pembangunan PT Pupuk Kaltim (PKT) di Bontang, Kalimantan Tmur. Tak heran, pada masa itu Indonesia dikenal mempunyai industri pupuk nitrogen (Urea) yang sangat tangguh dan menempati produsen urutan ketiga terbesar di Asia setelah Tiongkok dan India (Rachman, 2009).
- Berbagai Kasus
Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak sekali pelanggaran yang terkait pendistribusian pupuk bersubsidi, antara lain pelanggaran merk dagang, perbedaan label dengan isi dan jenis pupuk, penimbunan pupuk oleh tengkulak dan masih banyak pelanggaran-pelanggaran lain yang berimplikasi tindak pidana ekonomi.
Pupuk bersubsidi yang telah diatur proses distribusinya serta diberikan pengawasan sampai pada kios resmi mitra Kementan. Kasus penyelewengan didapatkan pula di Riau, tidak sampainya pupuk bersubsidi kepada kelompok tani yang semestinya mempunyai hak mendapatkan gara-gara dilakukan penyelewengan dari pengelola kios. Pengelola kios sudah memperoleh pupuk subsudi berdasarkan atas total yang tercatat dalam RDKK dari Desa Serumpun Jaya, Kecamatan Pasir Penyu, Kabupaten Inhu, Riau. Pemilik Kios Tani Rakyat, menggunakan identitas orang lain yakni pimpinan Kios Tani Rakyat yang memiliki nama Supriono, guna menjual pupuk bersubsidi pada desa lainnya melalui harga yang lebih tinggi (Pratama, 2020).
Dalam artikel yang sama, disebutkan modus operandi lain yang berkaitan dengan pendistribusian pupuk, salah satunya sebagaimana dilakukan oleh H. Arif Nur Saifullah selaku pengecer atau kios resmi pupuk di Kecamatan Sukomoro Kabupaten Nganjuk yang telah memperjualbelikan pupuk bersubsidi jenis pupuk organik Petroganik yang diproduksi oleh PT. Pupuk Indonesia (Persero) Group di luar bagian maupun di luar daerah tanggung jawabnya seperti yang dimaksudkan pada Pasal 30 (2) Jo Pasal 21 (1) Permendag RI No. 15/M-DAG/PER/4/2013 Jo Pasal 6 (1) b UU Drt. No. 7 Tahun 1955, yang tertuang pada Putusan Pengadilan Negeri Nganjuk No 307/Pid.Sus/2016/PN.Njk.
Jika kita menelisik bertanya lebih jauh mengenai data kerugian negara akibat korupsi pupuk bersubsidi tentunya ini menjadi tantangan tersendiri karena membutuhkan proses pengumpulan data yang sistematis dan terukur. Dari sejumlah literatur yang penulis himpun juga menyebutkan jumlah pasti kerugian negara akibat korupsi pupuk bersubsidi adalah hal yang cukup kompleks dan menantang. Beberapa faktor yang menyebabkan kesulitan dalam mengumpulkan data yang akurat itu antara lain:
- Kasus yang belum terungkap
Tidak semua kasus korupsi pupuk bersubsidi terungkap ke permukaan. Banyak kasus yang mungkin tidak dilaporkan atau tidak ditindaklanjuti.
- Perhitungan kerugian yang kompleks
Menghitung kerugian negara akibat korupsi pupuk bersubsidi membutuhkan perhitungan yang kompleks, melibatkan berbagai variabel seperti harga pasar, kuota pupuk, dan jumlah pupuk yang diselewengkan.
- Data yang tidak terintegrasi
Sistem pencatatan dan pelaporan data terkait pupuk bersubsidi di Indonesia belum terintegrasi dengan baik, sehingga sulit untuk mendapatkan data yang akurat dan komprehensif.
- Perubahan regulasi
Perubahan regulasi terkait pupuk bersubsidi dari waktu ke waktu juga dapat menyulitkan dalam melakukan perbandingan data dan analisis kerugian.
PEMBAHASAN
Dari kacamata penulis dalam mengantisipasi dan menindak penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi, langkah awal yang perlu dipelajari adalah mata rantai itu sendiri. Mari melihat sejenak alur distribusi dalam tataran kebijakan pemerintah saat ini. Di tingkat produsen, pada saat ini Indonesia memiliki 5 perusahaan BUMN yang memproduksi pupuk bersubsidi untuk kebutuhan nasional, yakni PT Pupuk Kaltim (PKT), PT Pupuk Sriwjaya (Pustri), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), PT Petro Kimia Gresik (PKG), dan PT Pupuk Kujang (PK).
Sistem rayonisasi yang selama ini diterapkan pada penyaluran pupuk bersubsdi adalah suatu sistem distribusi terbuka. Dalam sistem distribusi terbuka, alur distribusi pupuk dibagi dalam dua alur distribusi. Pertama, yaitu alur distribusi ke daerah biasa atau daerah yang dapat dengan mudah dijangkau sarana transportasi, dimana dilakukan pendistribusian melalui saluran distribusi yang telah ditetapkan. Kedua, alur distribusi ke daerah yang sulit dijangkau dimana pendistribusian dilakukan secara langsung oleh produsen dengan sistem operasi pasar.
Pada jalur distribusi biasa, tiga pabrik yaitu Pusri, PKT dan PIM masing-masing menyalurkan pupuk urea bersubsidi ke gudang lini II (tingkat provinsi) atau gudang unit pengantongan pupuk (UPP) di pelabuhan. Dari UPP, pupuk kemudian didistribusikan lagi ke gudang lini III atau disebut gudang produsen, yang berada di tingkat kabupaten. Dua produsen pupuk lainnya, yakni PKG dan PK, tidak mendistribusikan melalui lini II/UPP, melainkan langsung ke gudang produsen di lini III. Melalui gudang lini III inilah, pupuk didistribusi ke gudang distributor di tingkat kecamatan (lini IV). Pengangkutan dari gudang lini III ke gudang lini IV distributor umumnya menggunakan transportasi darat (Sudjono, 2011). Secara sederhana mata rantai distribusi dapat digambarkan seperti pada Gambar 1 di bawah ini.
Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan di penyalur resmi di Lini IV (Permentan No. 42/Permentan /OT.140/09/2008) dan ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan (Perpres RI No.77 Tahun 2005). Dengan penetapan HET, marjin (fee) yang diterima distributor di Lini III dan penyalur di Lini IV dibatasi dan kecil, berkisar Rp.30 – 40 /Kg atau antara 2,5-3,5 persen dari modal yang harus dikeluarkan. Marjin ini sebenarnya sangat tidak menarik bagi distributor dan pengecer dibandingkan harus memperdagangkan barang konsumtif lain yang biasanya ditetapkan dengan marjin keuntungan antara 15-20 persen (Rachman, 2009).
Dalam Permendag 21/M-DAG/PER/6/2008 disebutkan bahwa yang dimaksud pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian (dalam hal ini adalah Departemen Pertanian). Hal ini berarti bahwa pupuk bersubsidi diadakan oleh produsen pupuk atas pesanan dari petani/kelompok tani yang dikoordinir oleh Kantor Cabang Dinas Pertanian di tingkat kecamatan, Kantor Dinas yang membidangi pertanian di tingkat kabupaten/kota, Kantor Dinas yang membidangi pertanian di tingkat provinsi untuk sampai ke Departemen Pertanian (Masnun, M. A., & Astanti, 2020).
Dengan RDKK maka jenis, jumlah, waktu, pihak pemesan, serta pihak yang mengkoordinir pesanan pupuk bersubsidi menjadi jelas sehingga penyalurannya akan menjadi mudah karena dilaksanakan oleh yang mengkoordinir pesanan.
- Memecah & Mengurai Alur Penyelewengan
Kendati demikian, beberapa studi dan laporan investigasi telah memberikan gambaran umum mengenai besarnya kerugian negara akibat korupsi pupuk bersubsidi. Namun, angka-angka yang tercatat cenderung merupakan perkiraan dan belum tentu mencerminkan jumlah kerugian yang sebenarnya. Lantas muncul pertanyaan berikutnya: seberapa pentingkah data ini?
Dalam hemat penulis, data mengenai kerugian negara akibat korupsi pupuk bersubsidi sangat penting karena dari data ini lah menjadi pijakan bagi seluruh stakeholders yang bertanggungjawab atas penyelewengan distribusi pupuk ini untuk mengambil langkah-langkah penting, sebagaimana terurai dalam beberapa pemikiran berikut ini:
- Evaluasi kebijakan
Data ini dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan pemerintah dalam mencegah dan memberantas korupsi di sektor pupuk bersubsidi.
- Perencanaan anggaran
Data ini dapat dijadikan dasar dalam perencanaan anggaran untuk sektor pertanian, khususnya dalam mengalokasikan anggaran untuk pengawasan dan pengendalian pupuk bersubsidi.
- Penegakan hukum
Data ini dapat menjadi bukti dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku korupsi pupuk bersubsidi.
- Peningkatan kesadaran masyarakat
Data ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak buruk korupsi dan pentingnya upaya pencegahan.
Dalam konteks ini, dari sekian alternatif yang sering disampaikan dalam forum resmi maupun informal, penulis mencermati bahwa salah satu langkah yang patut digarisbawahi dalam pencegahan dan penindakan penyelewengan pupuk bersubsidi adalah kolaborasi antar lembaga. Kolaborasi sangat penting dilembagakan dalam satuan gugus tugas (task force) yang menghidupkan kerjasama yang baik antara berbagai lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pupuk bersubsidi.
Kolaborasi antar lembaga yang dilembagakan dalam Satuan Gugus Tugas pencegahan penyelewengan pupuk bersubsidi ini sangat mendesak didorong untuk membangun sistem dan model tata pengelolaan pengawasan distribusi pupuk bersubsidi melalui langkah-langkah seperti membangun sistem database yang terintegrasi untuk memantau persediaan, permintaan, dan distribusi pupuk bersubsidi.
Data ini bisa diakses oleh pemerintah, distributor, dan petani. Satgas juga ikut mengoptimalkan penggunaan aplikasi mobile bagi petani untuk mempermudah mereka dalam memesan pupuk, memantau status permohonan, dan melaporkan masalah dalam distribusi. Ini juga bisa digunakan untuk memberikan informasi tentang harga dan lokasi distributor terdekat.
Di sisi lain, Satgas juga terlibat langsung mengembangkan platform e-commerce khusus untuk pupuk bersubsidi, memungkinkan petani untuk membeli pupuk secara online dengan harga subsidi dan menghindari praktik penjualan ilegal. Dan, terakhir paling fundamental adalah menyediakan saluran digital untuk pengaduan terkait distribusi, di mana petani bisa melaporkan kecurangan atau masalah yang mereka hadapi dengan mudah.
KESIMPULAN & SARAN
Suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja (omissi) disebut kejahatan. Dalam hal ini seseorang dihukum harus ada suatu tindakan atau kealpaan atau bertindak, bukan hanya karena pikirannya. Kejahatan juga dapat berupa kegagalan untuk bertindak, apa ada sebuah kewajiban hukum bertindak pada kasus tertentu.
Selain itu juga harus terdapat niat jahat (criminal intens, mens rea). Kejahatan bisa berlangsung dimana saja serta pada bidang apa saja tidak terkecuali dalam lapangan hukum pidana ekonomi seperti penyalahgunaan pupuk bersubsidi yang pengaturannya terdapat pada Permendag RI No 15/MDag/Per/4/2013 mengenai Pengadaan Dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian junto UU Darurat No 7 Tahun 1955 mengenai Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Masnun, M. A., & Astanti, 2020),
Pupuk yang pengadaan serta penyalurannya ditataniagakan telah ditentukan di timgkat pengecer resmi ataupun kelompok tani dengan HET yang ialah pengertian dari pupuk bersubsidi. Untuk memonitor pengadaan dan pemyaluran pupuk yang diperoleh dari subsidi tentulah memerlukan penetapan pupuk bersubsidi termasuk dalam barang dalam pengawasan. Tentunya dibutuhkan upaya pemerintah untuk memperbaiki tata niaga pupuk bersubsidi melalui mekanisme:
- Peningkatan pengawasan
Melalui sistem informasi dan teknologi, pemerintah berupaya meningkatkan pengawasan terhadap distribusi pupuk.
- Peningkatan transparansi
Informasi mengenai alokasi dan harga pupuk disampaikan secara terbuka kepada publik.
- Peningkatan kapasitas petani
Petani diberikan pelatihan tentang penggunaan pupuk yang tepat.
- Peningkatan koordinasi antar instansi
Pemerintah daerah, dinas pertanian, dan instansi terkait lainnya meningkatkan koordinasi dalam pelaksanaan program pupuk bersubsidi (Wicaksono, M. E., & Hariadi, 2015).
Mekanisme pendistribusian pupuk subsidi telah diatur sedemikian rupa oleh Permendag No 15/MDAG/PER/14/2013 mengenai Pengadaan dan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Akan tetapi, pada praktik di lapangan masih banyak sekali celah dalam peraturan tersebut sehingga banyak sekali kecurangan dalam proses pendistribusiannya. Para pelaku tindak pidana dalam proses pendistribusian pupuk bersubsidi dapat dilakukan secara perorangan maupun organ-organ dalam sebuah badan hukum, mengingat pengecer resmi juga bisa berbentu perseroan terbatas, namun dalam contoh kasus yang diangkat penulis dalam studi kasus lebih banyak pelaku perorangan yang sifat tindak pidananya terorganisir dengan baik dan saling berkesinambungan sehingga me-nimbulkan kerugian baik untuk kelompok tani maupun masyarakat luas, dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ekonomi.
Tindakan preventif dan pre-emptif ini tentulah dalam perspektif pencegahan tindak pidana khusus lebih bijaksana ketimbang menebar segudang peraturan yang justru seringkali diakali, meskipun tidak sedikit yang akhirnya berujung pada tindakan kuratif (penindakan) dengan menjatuhkan hukuman pidana.
Dalam pencapaian tujuan ini tentulah diperlukan usaha yang dilakukan dengan membentuk Tim Terpadu di internal perusahaan yang dipercaya pemerintah sebagai BUMN pupuk. Tim ini bekerja untuk meneliti dan menilai apakah pelaksanaan pengawasan di bidang pemasaran pupuk bersubsidi telah cukup memenuhi syarat peraturan untuk diberikan kepada perusahaan distributor. Kemudian melakukan penilaian apakah kebijakan, rencana dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan betul-betul ditaati, apakah tindak lanjut yang dilakukan sudah berjalan sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-DAG/PER/4/2013 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 122/Permentan/SR.130/11/2013.
PT. Pupuk Kaltim sebagai produsen pupuk terbesar di Indonesia yang tergabung dalam PIHC (Pupuk Indonesia Holding Company) yang bergerak pada bidang industri pupuk memproduksi pupuk urea, NPK, dan memproduksi amonia serta beberapa produk sampingan antara lain, utilitas, steam, air tawar, dan lain lain harus konsisten mendukung penuh ketahanan pangan dengan menjual pupuk untuk tersedianya pangan dan kebutuhan lainnya di sektor pertanian.
Berdasarkan kajian dan analisis pendahuluan di atas, penulis berharap PT Pupuk Kaltim perkasa sebagai salah satu BUMN pupuk yang berada di garda terdepan mencetuskan berbagai program pengendalian kebocoran dan penyelewengan pupuk subsidi dengan menciptakan sendiri berbagai aplikasi digital. Program pengawasan yang berbasis sistem on-line harus semakin terus diperbaharui (updating) demi menyukseskan program pemerintah di sektor ketahanan pangan, apalagi hingga saat ini PT Pupuk Kaltim menjadi penopang kebutuhan pupuk subsidi untuk jutaan petani yang tersebar dari Jawa Timur hingga Papua. (*)