Prosumut
Opini

RS HKBP Nainggolan; Sebuah Kejayaan Masa Silam

Oleh : Dr. Valdesz Junianto, Pemred Prosumut.com / Prosumut TV; Dosen PTS di Medan

Tulisan ini adalah artikel lama yang dimuat kembali di situs berita ini, dan pernah terbit di Harian Sumut Pos – Jawa Pos Grup pada tahun 2007. Naskah aslinya masih tersimpan di link: https://valdesz.wordpress.com/2007/07/05/rs-hkbp-nainggolan-sebuah-kejayaan-masa-silam/.

RUMAH SAKIT adalah kehebatan masa silam. Dalam ingatan sebagian orang, senantiasa terekam kerepotan pelabuhan di kecamatan ini setiap pagi.

Dulunya ada dokter ahli asal bedah Belanda dan sekolah mantri.

Di usia mendekati 115 tahun, RS yang dirintis pada masa zending ini berdiri di tengah kenyataan bahwa 90,33 persen penduduk setempat tidak mampu berobat.

BPS 2006 mencatat angka ini tertinggi di Kabupaten Samosir! Apakah yang salah?

DI tengah kompetisi antardaerah, aset ini bagai emas yang tenggelam di genangan lumpur.

Jangankan tumbuh dengan pelayanan kesehatan gratis, rumah sakit ini malah semakin kurang diminati masyarakat. Sebagian warga mengaku lebih nyaman berobat di klinik.

Ada cerita usang yang sulit dilupakan. Dulunya kapal yang singgah di pelabuhan selalu membawa penumpang yang selalu beradu cepat tiba di RS HKBP Nainggolan.

Juga tidak aneh melihat ada penumpang kapal yang ditandu akibat sakit keras.

Siapa sangka ada ironi yang mengintai sekian dekade kemudian.

Statistik mencatat angka tertinggi penduduk tak mampu berobat justru ada di Kecamatan Nainggolan; di wilayah yang dulunya berdiri salah satu RS terlengkap dan paling ramai pasiennya di Keresidenan Tapanuli.

Dua kecamatan lain yang masyarakatnya dikategorikan tidak mampu berobat adalah Palipi (89,34 persen) dan Ronggur Ni Huta (85,17 persen). Wilayahnya bertetangga dengan kecamatan Nainggolan.

”Banyak kenangan terukir di sini. Saya ingat persis bagaimana RS ini begitu indah, bersih, dan ditanami banyak bunga,” ujar seseorang mengenang.

Ia berdiri di depan mikrofon di acara coffee morning untuk memikirkan kembali kebangkitan RS yang pernah tersohor itu.

Banyak situasi yang sulit diingkari. Selama bertahun-tahun RS ini kehilangan gairah melayani kesehatan masyarakat.

Jarang pasien, alat-alat medis yang terbatas, halaman bangunan yang kurang segar, atau dokter praktik yang sekadar menunggu SK PNS.

Dua dokter ahli bedah Belanda pernah bertugas di sana. Itu sejarah zaman Jepang. RS segenerasinya jauh-jauh hari sudah membangun sekolah paramedis. RS ini malah mundur ke belakang.

Di balik bangunannya yang tua dan dicat putih kembali, RS HKBP Nainggolan punya sejarah panjang yang berbeda dengan rumah-rumah sakit lain.

Kelahirannya pada 1893 diawali dengan sekolah Zending yang diprakarsai seorang Jerman, Pdt Johannes Wanut.

Di tempat inilah dirintis Kursus Subaso yang merupakan salah satu sekolah pertama yang mencetak mantri-mantri kesehatan pribumi.

Atas gagasan sejumlah suster Jerman, pada 1915, sekolah itu diperluas menjadi Poliklinik Zending yang dipimpin oleh anak desa setempat, Mantri HH Parhusip.

Poliknik ini dikukuhkan sebagai RS Zending pada 1936. Sebagian besar masyarakat mungkin sulit melepas kenangan atas kejayaan RS ini.

Di sana pernah ada ruang bedah dan instalasi untuk pasien penderita TBC.

Pada 1980-an, di saat tren penyakit TBC menyebar di sebagian Tapanuli, RS ini merawat banyak pasien dari luar Pulau Samosir.

Dengan kondisi ‘hidup segan mati tak mau’ sekarang ini, sulit membayangkan dua dokter ahli bedah Belanda pernah bertugas di sana. Kendati di ruangan depan, alat-alat bedah ‘tempoe doeloe’ masih tersusun dengan rapi.

Ruangan yang dilapis cat putih itu begitu kontras dengan warna peralatan medis yang mulai kusam. Sebagian ada yang tampak berkarat karena jarang dioperasikan.

Dalam dialog yang melibatkan Muspida awal April kemarin, rata-rata pembicara sepakat RS ini menghadapi persoalan yang begitu serius, yakni kesalahan pengelolaan.

Benarkah begitu? Jika benar sungguh disayangkan dan menjadi pertanyaan kenapa RS ini mandeg di tengah besarnya tuntutan menggratiskan biaya kesehatan bagi masyarakat desa.

Ada hal lain yang sulit memutuskan rantai sejarah RS ini dengan masyarakat Nainggolan.

Sejarahnya boleh mirip yang lain, namun bagian terbesar dari RS ini adalah sumbangsih masyarakat setempat.

Areal lahannya merupakan sumbangan pribadi agar pemerintah tidak kesulitan membangun RS.

Wajar banyak yang memendam kekecewaan atas pelayanan RS yang semakin merosot.

Jumlah dokter dan alat-alat medis tidak lagi memadai.

Awalnya setelah dirintis oleh kelompok Zending (Jerman) di masa Kolonial Belanda, pada 22 Maret 1973, pemerintah daerah menyerahkan RS ini kepada institusi HKBP untuk dijadikan Public Health Centre.

Maka berubahlah status administrasinya menjadi RS HKBP Nainggolan. Dalam perkiraan sebagian orang, selama lebih dari 15 tahun RS ini mengalami masa-masa yang membanggakan.

Menurut tokoh masyarakat, J. Siringo-ringo, selain RS HKBP di Balige dan RS Pangururan, maka di bentangan Tapanuli Utara dan Pulau Samosir, RS HKBP Nainggolan adalah salah satu RS rujukan.

‘’Saya ingat sekali orang-orang ramai datang berobat ke sini,” ujarnya.

Banyak yang menyesalkan, tapi tak sedikit yang menjahit harapan.

Setidaknya itu yang disampaikan dalam dialog yang melibatkan Muspida, tokoh-tokoh adat dan masyarakat, serta perantau bermarga Nainggolan yang menetap di Medan.

Ada baiknya melihat perbandingan nyata.

Dalam catatan sejarah, RS HKBP Nainggolan jelas lebih tua dari RS St. Carolus di Jakarta. RS yang dirintis oleh tokoh-tokoh awam Katolik ini pertama kali dibuka pada 1919 dengan kapasitas 40 tempat tidur.

Dalam masa 48 tahun, RS St. Carolus ini sudah memikirkan pelayanan di daerah pinggiran dengan mendirikan Balai Kesehatan Masyarakat (BKM) di kantong-kantong masyarakat urban miskin.

RS itu juga membuka Akademi Perawat sejak tahun 1962.

Ada contoh lain di Yogyakarta. RS Bethesda yang diresmikan pada 20 Mei 1899 dibawah payung Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (Yakkum) saat ini memiliki 30 klinik terpadu untuk berbagai jenis penyakit.

Coba bandingkan dengan RS HKBP Nainggolan yang dilahirkan enam tahun lebih dulu.

Hasil dialog coffee morning di halaman RS sebelum perayaan Paskah awal April itu membutuhkan komitmen kuat.

Bupati Samosir Mangindar Simbolon, misalnya, menginstruksikan Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir memberikan perhatian khusus.

Mantan Sekda Provinsi Sumatera Utara Dr. RE Nainggolan menyebutnya salah kelola.

‘’Sebuah badan atau yayasan yang membangun manajemen RS perlu dipikirkan sebagai langkah konkret,” katanya.

Praeses HKBP Distrik Samosir dan anggota DPRD Kabupaten Samosir Marlon Simbolon juga mendorong pembentukan yayasan.

Ini agar semua pihak yang berkompeten bekerja sama dalam satu meja.

Orang yang memberikan perhatian secara intens sejak awal adalah Prof dr RS Parhusip.

Ia memiliki jaringan yang luas di luar negeri. Bisa dibayangkan kedahsyatan RS ini jika kekuatan-kekuatan itu dipertemukan.

Kalau direnungi Kabupaten Samosir banyak tertinggal dengan kemunduran RS HKBP Nainggolan.

Setidaknya lulusan SMA lokal tinggal melanjutkan sekolah kalau RS mengembangkan manajemen dengan membuka akademi perawat atau bidan.

Sejatinya program itu diterobos sejak belasan tahun silam. Ini dikaitkan dengan tingginya permintaan tenaga paramedis di Jepang.

Pengiriman tenaga kesehatan ke Jepang merupakan salah satu isu yang dibahas dalam naskah kerja sama bilateral antara pemerintah RI dan Jepang.

Naskah itu diteken Presiden SBY dan PM Shinzo Abe dalam suatu kunjungan kerja ke Tokyo pada akhir November 2006.

Dalam klausulnya, Jepang membutuhkan 50.000 tenaga perawat profesional untuk dipekerjakan di seluruh negeri Sakura tersebut.

Momen ini sudah ditangkap Sumatera Selatan.

Dalam sebuah jalinan kerjasama dengan Pemerintah Kota Fujimi (Jepang) pada akhir November 2006, ratusan tenaga bidan dan perawat sudah diterbangkan dari Palembang ke Fujimi.

Di sana mereka dipekerjakan di berbagai rumah sakit yang kekurangan tenaga paramedis.

Sekitar sebulan sebelum ke Jepang, para bidan dan perawat itu diberikan kursus bahasa Jepang secara gratis oleh tim dari Kedubes Jepang.

Wakil Wali Kota Palembang Tolha Hasan juga menggelar kunjungan kedinasan secara khusus ke Fujimi. (Sumatera Express/Grup Sumut Pos, Selasa 28/11/2006).

Ini contoh MoU Jepang-Indonesia bukan sebatas kompensasi kosong atas hubungan dagang kedua negara yang lebih liberal.

Kesempatan itu adalah peluang di masa depan. Disamping RS amat dibutuhkan masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan yang murah. Jika perlu gratis.

Statistik menyebutkan hanya 10 persen masyarakat di kecamatan itu yang mampu untuk berobat.

Warga serius menyimak dialog coffee morning. Dari balik pagar dan bangunan yang baru dicat putih itu terukir harapan RS HKBP Nainggolan bangkit kembali.

Konflik internal masa lalu di institusi HKBP– yang membuat RS itu terpuruk– biarlah menjadi bahan introspeksi.

‘’Kami sampaikan ini kepada Ephorus,” ujar Praeses. Kita tinggal menunggu.

Jangan kiranya semua pejabat tergeneralisir oleh sebutan ‘bangsa pelupa’- sebagaimana yang sering disindir oleh seorang Jurnalis nasional. Semoga! (*)

Editor: Val Vasco Venedict

Konten Terkait

Pengesahan RUU TNI: Ancaman Independensi KPK & Kejaksaan junto Jurnalis!  

Editor prosumut.com

FDT Jangan Seperti Pepatah Melayu, ‘Buruk Rupa Cermin Dibelah’

Editor prosumut.com

Upin Ipin, Hitler, Kaisar Nero

Editor prosumut.com

Catatan Persoalan Moral dan Etika Masyarakat Kota Medan

Editor prosumut.com

Selamat Melaksanakan Amanah Konstitusi.

Editor prosumut.com

Sport Centre Fenomenal di Era Edy Rahmayadi, Ini Saran Praktisi

Editor prosumut.com
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara