PROSUMUT – Raksasa media sosial Facebook merilis layanan pengecekan fakta terbarunya, dengan harapan bisa memerangi berita palsu di platformnya.
Fact-checking itu adalah Full Fact, sebuah badan amal pengecekan fakta yang bisa meninjau melalui gambar, video, atau cerita apapun yang diunggah pengguna.
Dilansir Viva melalui laman Mirror, Minggu (13/1/2019), ulasan akan fokus terhadap hoax yang dianggap paling merusak.
Pengecekan ini termasuk hoax medis, hoax serangan teror, dan tipuan dalam konten pemilihan pemilu.
Layanan ini datang di tengah kritik dan politisi terhadap Facebook, mengenai hoax pemilihan umum di seluruh dunia.
Perusahaan media sosial telah menghadapi ancaman regulasi jika mereka gagal bertindak terhadap hoax di platformnya.
Di bawah program baru ini pengguna dapat melaporkan postingan yang mereka anggap mengkhawatirkan, tidak akurat, kemudian akan ditinjau oleh Full Fact.
Kemudian postingan mencurigakan lainnya tetap diidentifikasi oleh teknologi Facebook.
Lalu postingan tersebut akan di beri label ‘benar’ apabila kecurigaan pengguna tidak terbukti. Adapun label tidak benar atau campuran yang akan terlihat ketika pengguna membagikannya.
Jika terbukti hoax, post tidak akan dihapus namun diletakkan di bagian bawah kabar berita.
Direktur Full Fact, Will Moy mengatakan, perhatian pertama adalah untuk melindungi kebebasan berbicara dan kemampuan mengatakan apa yang mereka inginkan.
“Masalah utama di media sosial adalah seringkali pengguna semakin sulit untuk mengetahui apa yang harus dipercaya. Kemudian hoax yang berhubungan dengan masalah kesehatan akan menjadi satu masalah terbesar yang ditangani tim, dibanding mengecek fakta bernuansa politik,” katanya.
Ia melanjutkan, layanannya itu akan mempublikasikan hasil cek faktanya di situs web. Beserta laporan triwulan yang meninjau hubungannya dengan Facebook.
“Orang-orang tidak ingin melihat berita hoax di Facebook, kami pun begitu. Kami senang bisa bekerjasama dengan organisasi yang memiliki reputasi dan dihormati sebagai Full Fact untuk mengatasi masalah ini,” kata Training and News Literacy Manager, EMEA Facebook, Sarah Brown.
Media sosial besutan Mark Zuckerberg ini pertama kali merilis inisiatif pengecekan fakta pada Desember 2016.
Setelah muncul kekhawatiran tentang tipuan dan propoganda yang menyebar di pemilihan umum Donald Trump.
Kemudian Facebook bekerja dengan fact-checker di lebih dari 20 negara, untuk meninjau konten di platformnya. Namun studi mengatakan bahwa upaya tersebut tidak efektif. (editor)