PROSUMUT – Festival Danau Toba (FDT), yang awalnya bernama Pesta Danau Toba merupakan event yang sudah lama diselenggarakan oleh Pemda Sumatera Utara.
Pada penyelenggaraan kali ini, kementerian terlibat dalam membentuk konsep dan mengkoordinir pelaksanaannya hingga tahun 2017.
Hal ini dilakukan untuk menghidupkan lagi gaung pariwisata Danau Toba yang sempat redup. Demikian dikatakan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar pada soft launching Festival Danau Toba di Balairung Soesilo Soedarman, beberapa waktu silam.
Ketua Umum Appara Indonesia, Hendra Gunawan Kaban mengatakan, dengan statement wakil menteri tersebut maka Pesta Danau Toba yang diprakarsai oleh masyarakat dan tokoh-tokoh kala itu, seketika diharapkan melebur menjadi sebuah event festival yang lebih terarah menjadi sebuah atraksi industri pariwisata.
Padahal, seyogyanya Pesta Danau Toba adalah pesta rakyat yang sedari awal adalah keinginan rakyat dalam bentuk rasa syukur akan anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa akan luar biasanya Danau Toba.
Secara filosophy dan roh penyelenggaraan hal tersebut tentu sangat berbeda walaupun dalam efek dominonya tetap membantu industri pariwisata secara langsung.
Namun dalam penyelenggaraannya menjadi sangat kontradiktif, karena Pesta Danau Toba ada rangkaian hubungan emosional antar kabupaten sekelilingnya yang sudah terbangun lama dan dilaksanakan secara bergotong royong.
Dimana, banyak perlombaan yang puncak penampilannya dilaksanakan di Pesta Danau Toba, dan menjadi penampil dalam acara tersebut punya kebanggaan tersendiri.
Sangat berbeda saat Festival Danau Toba dilaksanakan yang sedari awal konsepnya sudah ditujukan untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk hadir menyaksikan event tersebut dengan mengeksplorasi budaya dan potensi-potensi pariwisata kawasan toba, tapi sayangnya tidak punya SOP baik oleh penyelenggara maupun pelaksana acara secara profesional.
“Dari banyak hal yang telah melanggar aturan penyelenggaraan acara, ada 4 faktor penting utama yang secara krusial tak bisa ditawar,” ungkapnya kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Selasa 14 Januari 2020.
Berikut 4 faktor penting utama menurut Hendra. Yakni, pertama; waktu pelaksanaan yang punya prioritas sendiri, harus mempertimbangkan banyak hal misalnya jadwal libur baik domestik khususnya manca negara.
Dan ini harus dilakukan secara konsisten, karena jadwal libur baik itu sekolah kuliah maupun pergantian musim khususnya negara-negara target wisatawan yang punya empat musim tidaklah berubah signifikan.
Tapi ini yang selalu dilanggar dengan argumentasi dana APBD harus dilelang melalui tertib admistrasi lain lain dan lain lain, padahal harusnya administrasi sudah terjadwal baik dan pastinya acara akan berjalan lebih baik.
Faktor kedua yakni tempat pelaksanaan. Ada 2 hal penting dalam pemilihan venue dan kedua option tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, sebagai pilihan pertama venue tetap tidak berganti setiap dilaksanakan.
Promosi tentu lebih mudah karena setelah acara ditutup panitia sudah bisa langsung di sampaikan baik lewat pengisi acara dan seluruh yang terlibat untuk dapat bertemu kembali di acara yang sama tahun berikutnya, secara digital baik social media perorangan maupun penyelenggara telah dapat disosialisasikan.
Pilihan kedua tempat bisa saja berganti setiap tahunnya dengan catatan bahwa promosi dilakukan secara ideal, 180 hari sebelum pelaksanaan, atau minimal 90 hari sebelum pelaksanaan tentunya harus dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi di semua media promosi yang dibutuhkan. Dan itu hal yang tak bisa ditawar jika ingin optimal.
Ketiga, target audiens. Ini merupakan arah tujuan pelaksanaan acara (event) dengan melakukan listing prioritas target pengunjung, sehingga tidak acak, harus terarah dan terukur, sering terjadi yang diundang wisatawan nusantara dan manca negara tapi promosinya hanya di Sumut itupun sekedarnya.
Jika memang penyelenggara sebagai pemilik acara (event) ingin meningkatkan kedatangan wisatawan baik domestic apalagi manca negara maka konsep undangan nya tentu harus ditujukan untuk mereka-mereka yang akan hadir, dengan skema prioritas yang terukur dan terintegrasi.
Keempat yakni pihak terkait yang tidak kalah penting sebagai bagian terintegrasi agar semua konsep dan implementasi beserta target pengunjung yang diinginkan sesuai dengan harapan dan optimal. Tentu keikutsertaan semua yang terkait pariwisata, baik kabupaten terkhusus provinsi.
Harus disadari betul bahwa merekalah ujung tombak pelaksanaan, mulai dari tokoh masyarakat, penggiat seni dan budaya, lembaga swadaya masyarakat pariwisata khususnya lagi para parktisi industri pariwisata, dengan kerja sama yang baik dan saling memberi masukan maka apa yang diinginkan dipastikan akan berhasil optimal sesuai harapan.
“Dari uraian beberapa hal tersebut bisa dikatakan selama pelaksanaan Festival Danau Toba yang terbilang sukses hanyalah yang pertama, selebihnya jadi alakadarnya. Eforia dan efek domino pada pelaksanaan festival danau toba pertama tidak ditangkap rohnya oleh pemilik event. Akhirnya bersifat rutin dan normatif, bahkan mirisnya cenderung hanya seremoni yang penting serapan anggaran maksimal. Padahal harapannya atraksi dalam festival danau toba inilah sebagai pemicu bergulirnya roda ekonomi yang lebih kencang dalam kurun waktu pelaksanaan,” sambung Hendra.
Ia melanjutkan, statement Gubernur Sumatera Utara yang dipertegas oleh Kepala Dinas Pariwisata Sumatera Utara setelah pelaksanaan Festival Danau Toba 2019 di Parapat Kabupaten Simalungun yang menyatakan, Festival Danau Toba 2020 tidak dilaksanakan karena tidak bermanfaat untuk rakyat membuat pertanyaan besar para praktisi pariwisata khususnya para penyelenggara dan pelaksana acara.
“Dinas pariwisata sumatera utara tidak mampu melakukan inovasi dan terobosan dalam pelaksanaan festival danau toba. Ini tentu sedikit memalukan, dimana-mana event diperlukan bahkan harusnya diperbanyak quantity-nya bukan malah ditiadakan. Jangan seperti pepatah melayu buruk rupa cermin dibelah,” tandasnya. (*)