PROSUMUT – Minat untuk menjadi calon legislator (caleg) di tengah masyarakat kita tetaplah tinggi. Padahal biaya yang diperlukan untuk ikut bertarung sebagai caleg di Pemilu pun semakin tinggi.
Yang perlu menjadi perhatian adalah apabila ternyata biaya yang dibutuhkan untuk pencalonan itu jauh lebih tinggi ketimbang potensi penghasilan yang akan diperoleh.
Jika itu terjadi, bagaimanakah kelak para legislator terpilih itu akan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan untuk membiayai pencalonannya?
Simaklah gambaran berDalam Pemilu legislatif 2019, ada 7.968 caleg untuk DPR. Di antara para caleg itu ada sekitar 500 calon petahana-–mereka yang sekarang duduk sebagai anggota DPR.
Jika dibandingkan dengan total jumlah caleg DPR dalam Pemilu 2019, memang jumlah calon petahana terlihat kecil, sekitar 6 persen saja.
Namun, jika dibandingkan dengan jumlah anggota DPR saat ini, terlihat bahwa banyak politisi yang sekarang duduk sebagai anggota DPR kembali ikut bertarung dalam Pemilu 2019. Jumlahnya bisa melampaui 90 persen dari anggota DPR saat ini.
Ada banyak sudut pandang dalam melihat fenomena itu. Salah satunya adalah partai politik (parpol) cenderung lebih memprioritaskan bahkan mendorong anggota DPR yang ada untuk menjadi calon petahana dalam Pemilu 2019.
Tentu preferensi parpol itu punya alSejumlah pengurus parpol mengakui, preferensi itu terkait dengan tingginya biaya yang dibutuhkan oleh caleg dalam Pemilu 2019.
Para calon petahana dipandang lebih siap secara finansial, serta mempunyai jaringan dan sudah dikenal di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Hal itu mengkonfirmasi bahwa biaya yang dibutuhkan oleh caleg pada Pemilu 2019 memang sangat tinggi. Dan kedua hal tadi-–yaitu kesiapan finansial dan kadar popularitas- menjadi sangat menentukan.
Para caleg yang benar-benar baru memasuki gelanggang politik elektoral dan tidak dikenal di dapilnya, hampir bisa dipastikan, akan membutuhkan modal lebih besar ketimbang calon petahana.
Terkecuali, jika caleg baru itu tergolong sebagai pesohor yang sudah dikenal oleh publik atau mereka yang mempunyai modal sosial di dapilnya.
Dalam penelitian untuk disertasi doktoral Pramono Anung –yang sekarang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet, seperti dikutip Kompas, terlihat bahwa biaya politik yang dikeluarkan anggota DPR periode 2009-2014 pada Pemilu 2009 berkisar Rp300 juta hingga Rp6 miliar.
Jika sang caleg cukup populer, biayanya berkisar Rp300 juta sampai Rp800 juta.
Dibandingkan Pemilu 2009, biaya pencalonan mengalami kenaikan lagi pada Pemilu 2014. Untuk caleg yang bertarung di DPRD kabupaten/kota saja, biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp300 juta sampai Rp800 juta.
Untuk keperluan kampanye Pemilu 2014, seperti terungkap dalam hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), rata-rata seorang caleg DPR mengeluarkan dana sebesar Rp1,18 miliar.
Itu angka rata-rata, dengan rentang antara Rp787 juta sampai lebih dari Rp9,3 miliar. Ini hanya untuk kampanye saja.
Pada Pemilu 2019, biaya yang dikeluarkan para caleg meningkat beberapa kali lipat dibandingkan Pemilu sebelumnya. Bahkan ada calon petahana dalam Pemilu yang memandang biaya itu akan mencapai 10 kali lipat.
Biaya kampanye caleg pada Pemilu 2019 tidak bisa lagi dimulai dalam satuan ratusan juta, melainkan sudah harus dimulai dalam satuan miliar rupiah.
Dua miliar rupiah disebut-sebut sebagai angka paling kecil untuk membiayai caleg dalam Pemilu 2019.
Kenaikan biaya politik itu terjadi karena, di tengah persaingan yang semakin ketat, ekspose yang lebih luas dan intens sangat diperlukan oleh para caleg.
Dengan demikian, lebih banyak alat peraga dibutuhkan, dan juga kebutuhan pertemuan intens dengan konstituen semakin sering.
Biaya yang harus dikeluarkan para caleg memang bukan melulu biaya alat peraga kampanye. Para caleg juga harus menyiapkan dana untuk membayar saksi di tempat-tempat pemungutan suara.
Bahkan ada juga kasus caleg yang harus mengeluarkan dana khusus agar mendapatkan “nomor urut cantik” dalam Pemilu.
Pemilu adalah kegiatan politik. Namun hubungan antara tiga pihak penting dalam proses itu–caleg, parpol, dan pemilih–seringkali tidak bersifat politis.
Relasi antara caleg dan parpol bisa berlangsung tidak dalam konteks ideologi, maupun pengaderan politik. Relasi antara pemilih dan caleg pun tidak selalu relasi pemberian amanat politik perwakilan.
Relasi di antara ketiga pihak itu seringkali dilangsungkan sebagai hubungan transaksional belaka. Inilah salah satu dampak kader “karbitan”, kader partai politik yang tak berakar di tempat yang akan diwakilinya.
Sistem perwakilan, sudah sepatutnya menampilkan orang yang mewakili kepentingan masyarakat, di tempat ia dicalonkan. Ia mungkin tak harus tinggal di wilayah itu, tetapi punya intensitas interaksi yang tinggi dengan daerah pemilihannya.
Dalam jangka waktu yang panjang, bukan sekadar saat memasuki masa kampanye.
Selama ini, banyak kader parpol yang dicalonkan dari wilayah yang bahkan ia tak pernah menginjakkan kakinya di sana. Jalan pintasnya, cari tokoh terkenal. Inilah faktor penting yang mendorong biaya tinggi politik bagi caleg dalam Pemilu.
Mengeluarkan biaya pencalonan secara jor-joran dalam Pemilu bisa sangat berisiko–baik bagi yang terpilih maupun yang gagal lolos dalam Pemilu. Sebab, bagaimanapun, penghasilan formal legislator bukanlah tanpa batas.
Anggota DPR periode 2014-2019, misal saja menerima gaji setiap bulan sebesar Rp55.294.000 atau Rp663.528.000 dalam setahun. Dalam 5 tahun, ia akan berpenghasilan dari gajinya sebesar Rp3,3 miliar.
Jika biaya pencalonan itu melebihi potensi penghasilan itu, dari mana kelak ia akan mengembalikan modal yang telah dibelanjakannya selama proses Pemilu? Pada titik inilah godaan melakukan korupsi lebih terbuka lebar.
Demi kehidupan politik yang sehat, para caleg yang bertarung dalam Pemilu 2019 hendaknya lebih rasional dalam menyusun belanja politiknya.
Para pemilih pasti lebih berharap relasinya dengan para caleg adalah relasi politik perwakilan. Itu susah diwujudkan jika para caleg, sejak awal, sudah terbebani persoalan dan motif-motif finansial. (*)