PROSUMUT – Peneliti Bidang Perkembangan Politik Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisyah Putri Budiatri, mengingatkan adanya potensi migrasi suara tersebut menjelang hari pemilihan 17 April 2019.
Ini berarti perubahan angka elektabilitas paslon capres-cawapres sangat mungkin terjadi.
Apalagi, kedua kubu belum ada yang memperlihatkan perbedaan program yang kontras, sehingga sangat sulit merebut suara pemilih yang belum menentukan pilihan.
“Migrasi ini terjadi karena tingginya unidentified voters, efek dari kampanye dan debat pilpres,” kata Aisyah dalam diskusi bertema ‘Migrasi Suara Pilpres 2019, Hasil Survei Vs Realitas’, di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu, 24 Maret 2019, dilansir Asumsi.
Sudah menjadi praktik umum untuk tim sukses salah satu paslon untuk mengklaim bahwa kemenangan mereka adalah hasil dukungan dari para undecided voters. Padahal, mereka yang belum menentukan pilihan bukan berarti belum punya pilihan.
“Bisa saja dalam survei, dia tidak menjawab atau merahasiakannya,” ucap Aisyah.
Aisyah mengatakan akan lebih tepat jika lembaga survei menyebut mereka sebagai unidentified voters.
Sebutan ini lebih cocok untuk menggambarkan kelompok masyarakat yang merupakan pendukung loyal kandidat tertentyu tapi tak mau memberikan jawaban yang jujur saat disurvei.
“Karena ini menjadi blunder jika (dua timses) melihat swing voters bisa direbut semua. Padahal bisa saja mereka sudah loyal tetapi merahasiakan,” ujar Aisyah.
Aisyah juga mengungkapkan bahwa kelompok undecided voters sebenarnya merupakan kelompok yang paling rasional.
Bahkan, persentase jumlah mereka justru sulit diketahui dan merupakan yang paling sulit untuk ditarik dukungannya. Maka dari itu, kedua kubu harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan suara mereka.
Menurut Aisyah, tim sukses dan pasangan capres-cawapres seharusnya membuat langkah lebih masif lewat kampanye. Sampai debat ketiga, lanjut Aisyah, isu-isu yang dimunculkan semuanya dekat dengan persoalan masyarakat, namun pembahasannya masih di permukaan.
“Tidak ada penjelasan lebih detail,” kata Aisyah.
Aisyah mengatakan sangat penting membuat program kampanye lebih detail dan membuat jangkauan luas, sehingga bisa dipahami masyarakat dengan baik.
Hal lain yang bisa memenangkan pilpres adalah tim kampanye harus bisa memastikan calon pemilihnya datang ke tempat pemungutan suara.
Lebih lanjut, Aisyah menjelaskan bahwa Pilpres 2009 dan 2014 menunjukkan angka golput yang tinggi. Angka golput pada Pilpres 2014 mencapai 26 persen.
“Nah ini agak kontras. Saat it, undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) dikategorikan oleh banyak lembaga survei hanya 10-15 persen, bahkan lebih rendah dari itu.”
Ketidakcocokan hasil survei dengan kenyataan yang terjadi di lapangan pada tahun 2014 menunjukkan bahwa selisih perbedaan jumlah suara menjadi sangat signifikan untuk kemenangan.
Dalam situasi saat ini, ada pelajaran penting bisa diambil dari Pemilu Amerika Serikat 2016 yang menyuguhkan pertarungan Donald Trump vs Hillary Clinton.
Saat itu, Hillary kalah karena pemilihnya yang sudah loyal tidak datang ke TPS. Padahal dari berbagai hasil survei, Hillary selalu lebih unggul dari Trump.
Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa keyakinan atas kemenangan membuat timses Hillary lengah dalam menjaga kantong-kantong suara mereka.
Survei berbagai lembaga menunjukkan mayoritas responden tidak setuju golput. Angkanya signifikan dengan presentasi yang tinggi.
“Kalau misalnya salah satu pasangan saja bisa merebut hati yang golput, maka angka migrasi suaranya bisa sangat banyak.”
Penyebab Adanya Potensi Migrasi Pemilih
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai terjadinya penurunan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf dalam enam bulan terakhir tentu disebabkan adanya migrasi pemilih, baik dari pendukung Jokowi yang mengubah dukungan mereka, atau para undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) dan swing voters yang telah memantapkan pilihan mereka pada Prabowo-Sandi.
“Berdasarkan kajian Kompas terakhir, ada pola migrasi preferensi di enam bulan terakhir. Salah satu kesimpulannya adalah tren keterpilihan Jokowi-Ma’aruf yang menurun dan sebaliknya, tren dukungan terhadap Prabowo-Sandi yang meningkat,” kata Firman dalam diskusi politik yang sama di Jakarta, Minggu, 24 Maret 2019. (*)