Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)
PROSUMUT – Di masa lalu ada satire tentang Garuda Indonesia Airways, maskapai flight carrier yang membawa nama atau merk Indonesia dalam berbisnis penerbangan.
Satire tentang tata kelola atau governance maskapai penerbangan “Garuda”yang mengartikannya sebagai singkatan dari “good and reliable under dutch administration” untuk maskapai BUMN itu.
Latar belakang satire tidak lain atas mirisnya tata kelola maskapai di masa itu yang sarat dengan persoalan korupsi dan nepotisme yang seringkali berulang, berujung membawa perusahaan milik negara itu kepada situasi teruk berkepanjangan.
Entah kebetulan atau bernasib sejarah yang sama dengan maskapai penerbangan flight carrier itu, tata kelola persepakbolaan Indonesia pun memiliki sejarah panjang kelabu.
Organisasi sepakbola yang tidak kunjung membawa harum nama bangsa di perhelatan sepakbola internasional melalui organisasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang pernah terkena sanksi “banned” dari induk organisasi sepakbola dunia FIFA di tahun 2015-2016.
Jangankan membuka asa untuk dapat hadir di perhelatan Piala Dunia, untuk tingkat Asia Tenggara pun masih jauh panggang dari api.
Terakhir kali, prestasi tim nasional senior Indonesia di piala AFF atau sekarang bernama Asean Championship malah terpuruk di babak penyisihan grup dan tidak pernah sekali pun menjuarai kejuaraan sepakbola antar negara ASEAN itu ditingkat senior sepanjang sejarah penyelenggaraannya.
Belakangan, kebijakan PSSI untuk meraih prestasi internasional jangka pendek dan jangka panjang dengan terobosan program naturalisasi pemain sepakbola tim nasional dari berbagai diaspora.
Ini tentunya membuka asa untuk meraih mimpi ke Piala Dunia dengan capaian yang cukup signifikan, dengan berhasil melaju ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia untuk Zona Asia.
Bila melihat klasemen sementara kualifikasi Grup C Zona Asia, raihan timnas Indonesia menjadi prestasi tertinggi saat ini yang dapat diraih oleh tim nasional di antara negara negara ASEAN.
Entah kebetulan pula atau belajar dari ungkapan “good and reliable under dutch administration” itu, dalam kebijakan program naturalisasi PSSI itu telah merekrut pemain pemain diaspora asal Belanda untuk alih warga negara menjadi warga negara Indonesia.
Berbeda dengan program naturalisasi umumnya di negara tetangga Malaysia dan Vietnam, yang memberikan alih kewarganegaraan kepada pemain pemain asing yang berlaga di liga mereka tanpa ada garis keturunan.
Program naturalisasi di Indonesia diberikan kepada pemain pemain berdarah atau keturunan Indonesia yang bermukim di diaspora, segala penjuru dunia.
Belanda yang memiliki sejarah panjang dengan Indonesia termasuk sejarah asimilasi dan pemerintahan di masa lalu, menghasilkan pemain sepakbola keturunan campuran yang tersebar di diaspora dan banyak pula yang menjadi pemain sepakbola andal.
Kini, mereka melirik ke negeri asal kakek, nenek, ayah bunda mereka, diberi peluang membela tanah air, beralih warga negara menjadi warga NKRI, berjuang mengharumkan bangsa Indonesia melalui sepakbola, upaya yang tidak semua dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia.
Walau naturalisasi para pemain diaspora itu berdampak positif bagi persepakbolaan nasional, namun tidak sedikit pula yang tidak sependapat dengan program naturalisasi, terutama pihak yang berpikiran nasionalisme sempit bahwa Indonesia itu hanya sekedar insan asli lokal suku bangsa atau daerah tanpa campuran ras, pikiran yang sulit move on terhadap globalisasi.
Cara pikir konservatif manja yang takut bersaing di era industri sepakbola global dengan standar sepakbola yang lebih tinggi.
Naturalisasi pemain sepakbola itu saat ini menjadi hal lazim di seluruh dunia di era globalisasi.
Dapat dibayangkan bagaimana Lamine Yamal yang ayahnya berasal dari Maroko dan ibunya berasal dari Guinea berhasil dipantau dan direkrut oleh Spanyol menjadi pemain Timnas Spanyol sejak usia 15 tahun. Di usia muda berhasil membawa negara Spanyol menjuarai Piala Eropa tahun 2024. Program naturalisasi tanpa darah keturunan Spanyol yang sukses dilakukan oleh negara Matador itu.
Sebenarnya, sejarah tim nasional sepakbola di zaman Hindia Belanda telah pernah meraih prestasi tampil di Piala Dunia tahun 1938 dengan para pemain campuran timnas asal suku Jawa, Tionghoa, Ambon, Belanda dan lain-lain.
Bertanding di Piala Dunia Prancis pada tahun 1938 itu mungkin menjadi kenangan tidak terlupakan bagi para pemain.
Berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal 27 April 1938 dengan kapal laut menuju Prancis dengan terlebih dahulu singgah di Belawan Sumatera Utara untuk melakukan pertandingan uji coba, program latihan yang sangat terbatas dibandingkan dengan fasilitas yang tersedia di masa kini, kenangan sepakbola nasional yang sesuatu sekali.
Tim nasional dengan torehan hasil program naturalisasi di bawah PSSI saat ini, dengan komposisi pemain timnas yang mirip dengan komposisi timnas Hindia Belanda di tahun 1938 itu, kini membuka peluang pula untuk dapat hadir di Piala Dunia 2026 Amerika.
Komposisi pemain diaspora mayoritas berasal dari Belanda dipadu dengan pemain lokal diharapkan dapat menggapai hasil gemilang di babak 3 kualifikasi Piala Dunia Zona Asia.
Di bulan Maret 2025 ini, Timnas Indonesia akan bertarung melawan Australia dan Bahrain. Sedangkan di bulan Juni 2025, akan bertarung pula melawan China dan Jepang.
Peluang untuk lolos dari Grup C Zona Asia cukup terbuka dengan komposisi pemain tim nasional saat ini, bila diukur dari transfer market value para pemain yang tidak kalah dengan negara negara papan atas di Asia.
Bahkan bila dibandingkan antara squad timnas Australia, market value para pemain Indonesia yang akan bertanding di tanggal 20 Maret 2025 ini lebih tinggi dari market value para pemain timnas Australia.
Transfer market value tentu menggambarkan kualitas permainan para pemain di lapangan.
Dengan racikan tim pelatih di bawah Head Coach Patrick Kluivert dan para asisten berasal dari Belanda ditambah Jordy Cruijff, putra legenda timnas Belanda Johan Cruijff sebagai penasehat teknis tim nasional Indonesia, maka semakin menggambarkan “Dutch Administration” sepakbola nasional mirip seperti timnas yang berangkat ke Piala Dunia di tahun 1938 itu.
Namun yang berbeda adalah timnas yang kini dengan lambang Garuda di dada para pemain.
Kini, sayap Garuda sudah terkepak mengasah asa untuk dapat hadir di Piala Dunia 2026. Semoga berjaya. (*)