FAKTA kepala daerah koruptif kian tak terbantahkah.
KPK seakan-akan menjadi rumah sakit baru bagi pemimpin yang masuk angin karena menilap uang rakyat (corruption).
Jabatan eksekutif itu mutlak adalah mandat dari kekuasaan yang terpilih langsung, dan terbuka oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kepala daerah merupakan pemimpin, pemegang kekuasaan atau pemegang kebijakan yang memikul tanggung jawab terhadap persoalan kemiskinan, kesejahteraan, keadilan, dan hak-hak masyarakat.
Pasalnya, kekuasaan tersebut dapat menjadi suatu alat sosial dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
Bambang Widjojanto mengatakan dalam buku Rhenald Kasali, dkk, (Bunga Rampai Opini Guru Besar Antikorupsi; Memperkuat & Mempertahankan KPK: 2016):
“Jika ada seorang pemimpin, suatu kekuasaan pemerintahan atau suatu nation serta kaum cerdik pandai dan cendekiawannya, tidak terlibat secara serius dan sepenuh-penuhnya pada upaya pemberantasan korupsi, jangan pernah berharap akan terwujud kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh peri kehidupan rakyat, khususnya mereka yang terus menerus miskin dan dimiskinkan, serta penghormatan atas nilai kemanusiaan”.
Pandangan di atas tampak memperjelas hakikat pemimpin alias kepala daerah dituntut mampu bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Melalui kepemimpinannya, tentu hal ini merupakan alasan untuk menyelesaikan persoalan terkait aspek kehidupan sosial kemanusiaan.
Memang tak sedikit kepala daerah yang terjaring korupsi di negeri ini. Mulai dari level gubernur, bupati, wali kota, dan kepala desa pun telah tak terhitung jumlahnya.
Baik itu yang mendapat gelar status tersangka, terdakwa, dan terpidana sekali pun.
Bahkan KPK seolah-olah rumah baru bagi koruptor.
Lahirnya generasi koruptor di pelbagai kekuasaan tampak membuktikan adanya indikasi korupsi yang subur dalam suatu lingkar kekuasaan eksekutif, jabatan politik dipandang pragmatis oleh para elit politik (leader) di mana tujuannya hanya untuk mencapai keuntungan individu maupun kelompok tertentu.
Padahal korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang merampas hak-hak ekonomi masyarakat untuk dapat hidup sejahtera, tetapi malah sebaliknya bertambah miskin akibat perilakunya yang tak bermoral itu.
Bahaya korupsi sungguh berdampak besar kepada kerugian keuangan negara.
Korupsi sebagai wabah bagi para pemimpin, sehingga tak cukup apabila disembuhkan dengan hukuman.
Dan apalagi dibawa ke rumah tahanan KPK sungguh sulit untuk menyembuhkan penyakitnya, perilaku kotor itu paling buruk yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan hasil laporan dari tahun 2004 sampai 2019, terdapat 124 kepala daerah terjerat korupsi (sumber: katadata.co.id).
Artinya, dari sekian ratusan corrupt leader ini tampak membuat angka kemiskinan makin meningkat tinggi.
Lalu faktor apa yang melatarbelakangi perilaku tersebut?
Menurut Jack Bbologne, ada beberapa faktor mengapa kepala daerah mudah terjaring korupsi.
Pertama, greedy. Artinya, terkait dengan kerakusan dan keserakahan dari pelaku korupsi karena seseorang yang melakukan korupsi pastinya memiliki rasa tidak puas akan keadaan dirinya.
Kedua, opportunity. Artinya, terkait dengan sistem yang memberikan peluang untuk melakukan korupsi sehingga dengan adanya peluang tersebut membuat seseorang cenderung melakukan korupsi.
Ketiga, needs. Artinya, berhubungan dengan sikap mental yang selalu merasa kekurangan dan selalu ingin memenui keinginannya yang tidak pernah usai.
Keempat, exposes. Artinya, terkait dengan tidak timbulnya efek jera dari hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi.
Menurut hemat penulis, dari semua faktor tersebut tampak menunjukkan lemahnya moralitas pemimpin membuat prilakunya tidak kunjung sadar atas perbuatan melawan hukum.
Maka dari itu, perlu disadarai bahwa memilih pemimpin (kepala daerah), dan aparat penegak hukum harus yang memiliki integritas, dan menjunjung tinggi kesadaran hukum, setidaknya dengan aturan main seperti ini dapat mewujudkan dimensi kemanfaatan hukum untuk kesejahteraan masyarakat.
UUD 1945 pasal 1 ayat (3) dengan tegas mengatakan bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dalam konteks ini, dengan menyandang negara hukum haruskah mendapat label negara korup?
Tentu jawaban penulis tidak. Dan untuk menghapus redaksi “korup” butuh waktu yang panjang.
Langkah sosialisasi pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu menjalin dengan institusi penegak hukum lainnya, dan lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Paling tidak, terobosan ini berguna demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pada hemat penulis, korupsi dapat dicegah dan diberantas melalui beberapa hal.
Pertama, penguatan pengawasan, kontrol sosial, dan ketegasan dari aparat penegak hukum (KPK, Kejaksaan, Polri) dalam upaya membongkar korupsi sistemik ke akar-akarnya.
Kedua, meningkatkan pemahaman kepala daerah terhadap Pancasila sebagai suatu pedoman moral.
Ketiga, pentingnya komitmen aparat penegak hukum dalam mendorong prinsip transparansi, dan akuntabel.
Keempat, menjalin kerjasama dengan mitra-mitra yang dapat disinergikan. Baik itu, dengan pihak ICW, LSM, dan gerakan anti korupsi yang dapat membersihkan prilaku kotor itu.
Penegak hukum sebagai leading sector dalam upaya pemberantasan korupsi telah diberikan fasilitas berupa infrastruktur serta anggaran oleh negara.
Dan kewenangan dalam melakukan penyelidikan-penyidikan, penuntutan, penindakan, penyadapan, penahanan, dan legalitas wewenang lainnya.
Dengan fasilitas yang relatif kompleks, tentu peran penegak hukum seharusnya mampu mencegah, dan memberantasa korupsi yang terjadi di lingkungan eksekutif.
Pasalnya, pelbagai macam dukungan dari negara, pemerintah, dan masyarakat, agar korupsi kepala daerah tidak mendapat ruang gerak. (*)