PROSUMUT – Saat ini hoax (berita palsu) sedang menggila. Setiap hari kita dihujani oleh tumpukan hoax, terutama di media sosial. Alhasil, masyarakat semakin bingung mana berita yang benar, mana yang hoax.
Memang beberapa media mainstream banyak mempunyai rubrik antihoax, dengan tujuan mengklarifikasi apakah itu berita yang benar atau hoax. Demikian juga Kemenkominfo yang setiap minggu mengklarifikasi berita-berita viral yang ternyata hoax.
Bahkan Menteri Kominfo sudah menjalin kerja sama dengan pengelola WhatsApp untuk mengendalikan hoax dengan cara membatasi fungsi forward hanya bisa lima kali saja.
Tapi bagaimana awal hoax menyebar?
Dari hasil investigasi yang dilakukan sebuah website berita nasional, dengan memantau via Media Monitoring, baik untuk media mainstream maupun untuk media sosial, diperoleh kesimpulan.
Sebenarnya awal mula hate speech (hoax) kebanyakan bermulai di Twitter. Walaupun bukan media sosial terbesar yang dipakai orang Indonesia (hanya 27 persen), tapi di Twitter-lah asal mulai hoax menyebar. Karena memang Twitter punya karakteristik untuk berdebat secara terbuka dan punya API yang bisa diakses software Media Monitoring.
Sekadar informasi berikut komposisi para pemakai media sosial Indonesia: YouTube 43 persen, Facebook 41 persen, WhatsApp 40 persen, Instagram 38 persen, Line 33 persen, BBM 28 persen, Twitter 27 persen, Google+ 25 persen, FB Messenger 24 persen, LinkedIn 16 persen, Skype 15 persen, dan WeChat 14 persen.
Nah, sialnya, berdasarkan berbagai riset, manusia mudah mencela orang lain di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Alhasil, hiruk pikuk di dunia maya lebih tajam karena manusia tidak berhadapan langsung dengan lawan bicaranya.
Karena debatnya tajam dan menarik, akhirnya media mainstream tergoda untuk memberitakannya. Maka, muncullah berita-berita di media mainstream yang bermula dari dari media sosial.
Gayung bersambut, link berita tersebut lalu menyebar di grup-grup diskusi WhatsApp. Para netizen seolah-olah mendapatkan pengakuan karena beritanya (ada yang penuh, ada juga yang sebagian, atau ada juga yang sudah diklarifikasi ke narasumber langsung) menyebar di media mainstream.
Kemudian link berita tersebut “digoreng” lagi di berbagai medsos, dan setelah ditambah kiri kanan di-posting lagi di berbagai platform medsos. Di mana di level ini, kebanyakan pengolahan berlangsung di platform WhatsApp.
Bahkan ada juga yang disebar di dunia nyata lewat berbagai kegiatan kelompok masyarakat. Link ini jadi referensi berbagai kelompok di dunia nyata untuk menguatkan kepercayaan terhadap suatu isu tertentu.
Sialnya, ada tim-tim khusus (buzzer) yang kembali mengelola isu tersebut, lalu kembali mengunggahnya di medsos (terutama Twitter). Lalu, kembali lagi menjadi makanan media mainstream. Prosesnya berlangsung seperti yang tertulis di awal.
Alhasil, berita-berita hoaks ini cenderung terus menyebar dan memakan korban-korbannya walaupun informasinya keliru. Klarifikasi yang sudah dilakukan oleh banyak pihak memang membantu. Tapi, etika para buzzer yang seharusnya lebih berperan.
Nafsu untuk memenangkan kelompok tertentu dengan mengangkat isu-siu bernuansa SARA akan sangat membahayakan masa depan bangsa ini. (*)