PROSUMUT – Wacana perombakan struktur di tubuh militer Indonesia menyeruak di tengah hangatnya situasi politik Tanah Air.
Dua bulan lebih jelang Pemilu 2019, TNI menggulirkan rencana merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Wabilkhusus, revisi tersebut terkait dengan Pasal 47 yang mengatur tentang jabatan-jabatan sipil yang boleh dijabat perwira TNI aktif. Revisi ini menghendaki adanya perluasan jabatan sipil bagi perwira militer. Maklum, Mabes TNI kini tengah surplus jenderal dan kolonel.
Akibatnya, para jenderal dan kolonel ini berkantor hanya untuk mengikuti apel harian, tanpa beban dan tanggung jawab pekerjaan.
Hingga akhir 2018, setidaknya 150 perwira berbintang dan 500 kolonel tanpa jabatan alias non-job. Rupanya, surplus jabatan jenderal bintang dengan kolonel ini sudah menjadi masalah klasik.
Asisten Personil Panglima TNI pada 2017 lalu pernah menyebut penumpukan jabatan jenderal dan kolonel ini sudah terjadi sejak 2011 lalu.
Sejak 2011 sampai akhir tahun 2017, grafik menunjukkan jumlah perwira tinggi TNI terus mengalami kenaikan dengan kelebihan sebanyak 141 orang Jenderal.
Peningkatan kelebihan personel secara progresif juga terjadi pada golongan kolonel. Sampai akhir tahun 2017, kelebihan kolonel TNI mencapai 790 orang.
Sejatinya, Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI mengatur bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Ayat (2) berbunyi “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung”
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengaku masih menunggu revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 47. Revisi UU tersebut diharapkan bisa mengatasi menumpuknya perwira menengah-tinggi TNI yang non-job.
“Kami menginginkan bahwa lembaga atau kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon satu, eselon dua, tentunya akan juga menyerap pada eselon-eselon di bawahnya sehingga Kolonel bisa masuk di sana,” kata Hadi di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis, 31 Januari 2019 lalu.
Sembari menunggu revisi itu terwujud, upaya lain yang dilakukan TNI untuk mendistribusikan penumpukan perwira tinggi dan menengah ini dengan melakukan restrukturisasi 60 jabatan baru bagi perwira dengan pangkat Kolonel akan naik pangkat ke Jenderal Bintang Satu (Brigjen), seterusnya Bintang Satu ke Bintang Dua (Mayjen) dan Tiga (Letjen).
Kenaikan pangkat ini seiring dengan peningkatan tipe Korem-AD, penyesuaian jabatan pada satuan-satuan komando lainnya, serta pembentukan organisasi baru namanya Kogabwilhan dipimpin Panglima berpangkat bintang tiga dengan wakilnya bintang dua dan asistennya ada 6 bintang satu sehingga otomatis menarik kolonel yang di bawah.
Restrukturisasi jabatan TNI ini mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2016 yang sebelumnya di Revisi dari Perpres Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Paling tidak sudah akan berkurang dari 500 (perwira non-job) yang disampaikan tadi, bisa sampai 150 sampai 200 mudah-mudahan,” ujar Hadi.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi menambahkan akan ada sekitar 60 posisi yang bisa diisi perwira menengah dan tinggi TNI di kementerian/lembaga negara, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang kini sedang direvisi oleh TNI.
Puluhan jabatan itu tersebar diantaranya di Badan Keamanan Laut RI, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, Lemhannas, Wantannas dan Kementerian Pertahanan.
“Sebenarnya ini permintaan dari kementerian atau lembaga terkait, bukan dari TNI. Jadi bisa dimanfaatkan perwira menengah dan tinggi yang ada,” kata Mayjen Sisriadi di Balai Media TNI, Jakarta Pusat, Rabu Februari 2019.
Penempatan puluhan perwira tinggi dan menengah di kementerian/lembaga ini lanjut Sisriadi, tetap mengacu pada ketentuan UU, dengan mempertimbangkan kebutuhan personel perwira di internal institusi TNI sendiri.
Rencana perluasan jabatan sipil perwira militer bukan tanpa kritik. Usulan itu memicu polemik soal kembalinya Dwifungsi militer era Orde Baru serta anggaran negara yang keluar sia-sia untuk gaji perwira tinggi yang non-job.
Anggota Komisi I DPR, Mohamad Arwani Thomafi menyebut persoalan kelebihan perwira harus diselesaikan di internal TNI.
Menurutnya kondisi ini tak bisa menjadi alasan pembenar agar militer berbondong-bondong keluar barak dan kembali bekerja di ranah sipil. (*)