PROSUMUT – Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) masih menjadi persoalan pelik di Sumut. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut mencatat, terdapat 116 kasus pelanggaran HAM selama tahun 2018. Jumlah itu hanya turun tipis dibanding tahun lalu, yakni sebanyak 118 kasus.
Dari seluruh kasus pelanggaran HAM yang dicatat KontraS, mengakibatkan 82 orang terluka dan 28 orang meninggal di Sumut. “Kepolisian masih menjadi pelaku dominan dalam catatan kami,” terang Koordinator Badan Pekerja KontraS Sumut, Amin Multazam Lubis, Selasa (11/12).
Total ada 59 kasus yang melibatkan polisi. Disusul kemudian Satpol PP, 9 kasus; dan TNI sebanyak 7 kasus.
Kebanyakan pelanggaran HAM yang terjadi terkamuflase dengan motif penegakan hukum. Aparat menggunakan kekuatan berlebihan saat menangani sebuah kasus.
KontraS juga menyoroti kasus pelanggaran HAM yang disebabkan oleh pembangungan infrastruktur. Di banyak tempat, pembangunan malah menyebabkan perampasan hak masyarakat dan perusakan lingkungan.
Ada tiga pelanggaran HAM di Sumut yang menjadi sorotan utama KontraS. Pertama, praktik kekerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat keamanan negara. Kedua problem konflik pengelolaan sumber daya alam (konflik agraria); dan yang ketiga adalah ancaman terhadap demokrasi dalam konteks kebebasan berserikat, berekspresi, dan menyampaikan pendapat.
“Belum hadirnya negara dalam memenuhi, menghormati dan melindungi HAM adalah kata kunci mengapa tiga problem klasik pelanggaran HAM ini masih saja terus berulang di Sumatera Utara,” ungkapnya.
Bagi Amin, kondisi ini begitu kontradiktif dengan penyematan provinsi peduli HAM setiap tahunnya. Konsep ‘bagi-bagi’ penghargaan HAM justru menjadi satu bukti salah kaprahnya pemerintah memaknai arti pemenuhan hak asasi.
“Bahwa HAM tidak mengenal standar ganda dan bisa diukur secara parsial. Penegakan HAM bukan hitungan matematis berdasarkan jumlah kebijakan dan perangkat aturan tanpa proses implementasi yang benar dari aparatur Negara,” tegas Amin.
“Sebuah kegagalan berpikir jika pemerintah daerah berlomba melahirkan berbagai aturan, tapi fakta dilapangan justru menghadirkan perilaku aparatur negara yang menabrak aturan tersebut,” pungkasya.
Lantas apa respons kepolisian? Saat menjabat Kapolda Metro Jaya dulunya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernäh mengatakan polisi memiliki kewenangan untuk melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) selama bertugas. Hal itu disebabkan karena kepolisian dalam bekerja diatur dalam undang-undang.
“Saya tidak setuju bahwa polisi tidak menggunakan kekerasan,” ucap Tito sebagaimana dikutip dari laman Tempo.
Tito menjelaskan, ada garis tipis antara melanggar HAM dan tidak ketika polisi menjalankan tugas-tugasnya. Bagi dia, upaya paksa harus dilakukan kepolisian untuk kepentingan publik yang lebih besar. “Kalau tidak diberikan hak melakukan upaya paksa, kerja polisi tidak jalan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pelanggaran HAM yang dilakukan haruslah jenis pelanggaran yang memang telah diatur undang-undang. Pekerjaan rumah bagi polisi adalah bagaimana agar anggota kepolisian tidak menggunakan kewenangan yang diberikan secara berlebihan.
Menurut Kapolda, menyamakan persepsi anggota kepolisian tentang hal ini tidak mudah. “Di level reserse mungkin paham, tapi level anggota yang baru yang cuma pelatihan selama tujuh bulan langsung terjun ke masyarakat belum bisa,” tuturnya. (editore)