PROSUMUT – Pada Debat Pilpres Jilid 2 hari Minggu 17 Februari 2019, salah satu perbincangan yang menarik adalah tentang startup unicorn, yakni perusahaan rintisan yang telah mencapai valuasi sebesar 1 miliar dollar AS.
Dalam perdebatan tersebut, calon presiden petahana Jokowi bertanya tentang strategi calon presiden lainnya, Prabowo, dalam mendukung kemajuan perusahaan rintisan ini.
“Infrastruktur apa yang akan bapak bangun untuk mendukung pengembangan unicorn-unicorn di Indonesia?” tanya Jokowi pada Prabowo dalam debat capres yang dilaksanakan di Hotel Sultan, Jakarta.
Prabowo pun menjawab dengan awalan sedikit bingung. Ia memastikan kembali pada Jokowi mengenai pertanyaannya.
“Yang Bapak maksud, unicorn, unicorn, maksudnya yang apa itu, yang online-online itu,” ucap Prabowo memastikan pertanyaannya. Jokowi pun membalas dengan anggukan.
Prabowo pun menjawab kalau akan melancarkan segala urusan yang dapat memperlancar.
“Mereka lagi giat-giatnya, lagi pesat-pesatnya berkembang, jadi saya akan dukung segala upaya untuk memperlancar.”
Berbicara mengenai perusahaan rintisan berstatus unicorn, di Indonesia sudah terdapat empat perusahaan yang mendapatkan status tersebut.
Keempat perusahaan itu adalah Go-jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak.
Perusahaan-perusahaan ini telah membuktikan kalau Indonesia, dengan segala keterbatasan infrastruktur yang ada, sudah mampu menjadi negara yang ramah pada perusahaan rintisan.
Perusahaan rintisan adalah sebuah perusahaan tanpa dana awal yang besar. Biasanya, perusahaan rintisan berangkat dari gagasan untuk menyelesaikan permasalahan nyata di kota atau negara tempat perusahaan tersebut berkembang.
Istilah unicorn untuk perusahaan rintisan dicetuskan oleh Aileen Lee di tahun 2013.
Kala itu, Aileen Lee secara sempit merujuk pada perusahaan rintisan berbasis teknologi yang telah mendapatkan valuasi sebesar US$1 miliar dan didirikan di Amerika Serikat pasca tahun 2003.
Terdapat 39 perusahaan rintisan yang masuk kriteria unicorn ketika Lee mencetuskan istilah Unicorn.
Istilah unicorn sendiri digunakan karena jarangnya sebuah perusahaan rintisan mencapai angka valuasi setinggi 1 miliar dollar AS, layaknya sebuah hewan mitos unicorn yang sulit ditemui.
Kini, perusahaan rintisan unicorn tidak hanya merujuk pada perusahaan yang dibangun di Amerika Serikat. Selama menyentuh valuasi US$1 miliar, gelar unicorn pun tersemat pada perusahaan rintisan.
Sementara itu, setiap tahunnya ditemui jumlah perusahaan rintisan yang masuk ke dalam kategori unicorn terus bertambah.
Perusahaan Rintisan Berstatus Unicorn Sudah Semakin Banyak di Seluruh Dunia
Tidak hanya di Indonesia, perusahaan rintisan berstatus unicorn tersebar di berbagai belahan dunia.
Tech Crunch menyebutkan kalau per bulan Maret 2018, sudah ada 279 perusahaan rintisan berstatus unicorn. Beberapa perusahaan ini seperti Pinterest, Airbnb, Uber, Go-jek, dan Ant Financial.
Meningkat pesatnya jumlah unicorn di seluruh dunia pun mendorong dibutuhkannya istilah baru untuk mengklasifikasikan sebuah kesuksesan perusahaan rintisan.
Bloomberg Business pun mencetuskan sebuah istilah baru, yakni decacorn. Istilah decacorn ini digunakan untuk sebuah perusahaan rintisan yang telah mencapai valuasi sebesar 10 miliar dollar AS.
Berkembangnya perusahaan-perusahaan rintisan hingga berstatus unicorn bukan tanpa alasan.
Setidaknya ada dua alasan yang membuat perusahaan rintisan berkembang begitu cepat. Pertama, strategi pertumbuhan cepat atau Get Big Fast (GBF).
Strategi ini dilakukan dengan cara pendanaan besar dan pemotongan harga yang gila-gilaan. Pendanaan besar memastikan ada cukup uang untuk melakukan promosi produk seperti pemotongan harga.
Ketika harga dipotong, pasar pun akan tergiur menggunakan produk perusahaan tersebut.
Pasar yang semakin besar pun meningkatkan valuasi perusahaan ini. Pasar yang semakin besar ini juga menjadi strategi untuk membatasi rival secepat mungkin.
Alasan kedua adalah akuisisi perusahaan rintisan oleh perusahaan yang sudah besar. Ketika diakuisisi, perusahaan besar ini tidak membelinya begitu saja.
Mereka justru bertindak sebagai pembina dan pengawas dari perusahaan rintisan ini.
Mekanisme pembelian dan pengawasan ini tidak hanya menguntungkan perusahaan rintisan, tetapi juga perusahaan besar.
Perusahaan besar tidak lagi perlu membuat sebuah proyek dari awal untuk melakukan diversifikasi bisnis, mereka hanya tinggal membeli dari yang sudah dirintis saja. (*)