Penulis: Batara L Tobing, Kolumnis Prosumut.com
MANTAN Perdana Menteri Inggris, Margareth Thatcher dalam sebuah pernyataan politik pernah mengatakan, berdiri di tengah jalan sangatlah berbahaya. Anda bisa tertabrak oleh lalu lintas dari kedua sisi, kiri dan kanan.
Mungkin karena memegang prinsip seperti itu pula seorang Margareth Thatcher yang diberi julukan ‘Si Wanita Besi’, berdiri pada satu sisi yang menurut keyakinannya benar dengan prinsipnya yang sangat kuat, sehingga dikabarkan seringkali harus berbeda pandangan dan bersitegang dengan Ratu Inggris di masa pemerintahannya.
Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Jakarta (DKJ), mungkin ini pula yang menjadi gambaran prinsip yang dilanggar oleh seorang Anies Baswedan dalam berpolitik.
Keinginan berdiri di tengah tanpa harus menjadi bagian anggota atau pengurus di salah satu partai politik yang akan mengusungnya di Pilkada Jakarta 2024, akhirnya menjadikannya gagal maju dalam kontestasi tersebut.
Sebagai calon peserta kontestasi Pilkada DKJ, sebenarnya Anies Baswedan sudah melakukan pendekatan dan bahkan tampaknya sudah hampir mendapatkan wild card untuk diusung sebagai calon gubernur DKJ melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Namun, Ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya begitu keras berprinsip agar Anies Baswedan atau siapapun calon kepala daerah yang ingin didukung oleh PDIP untuk tidak boleh berdiri bebas, melainkan harus menjadi anggota atau bagian dari partai ini. Bila ingin berdiri bebas di antara partai politik silahkan berkontestasi melalui jalur independen.
Bagi partai PDIP ini, seorang calon kepala daerah wajib menjadi petugas partai yang telah mengusungnya sebagai kepala daerah.
Mungkin faktor beda prinsip antara Anies Baswedan dengan ketua umum PDIP soal posisi berdiri di tengah jalan inilah yang menjadi ikhwal dan muasal gagalnya Anies Baswedan untuk dapat berlaga di kontestasi Pilkada DKJ.
Sebenarnya, di masa sebelumnya Anies Baswedan pernah juga diminta oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) agar masuk sebagai anggota atau pengurus PKS yang telah mendukungnya sejak awal berlaga di DKI Jakarta dan berhasil memenangkan sehingga menjadi gubernur DKI Jakarta.
Akan tetapi, keinginan Anies untuk tetap berdiri bebas tanpa harus menjadi anggota atau pengurus PKS ini pula yang membuat partai tersebut putar arah, tidak lagi mendukungnya dan sebaliknya malah bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) di Pilkada DKJ. Begitulah lazimnya langgam politik, selalu mendahulukan dan mengutamakan kepentingan masing-masing.
Pada akhirnya, mungkin Anies Baswedan mulai sadar diri bahwa berdiri bebas di tengah jalan itu memang berisiko ditabrak kiri dan kanan dalam lalu lintas politik di negeri ini. Itulah sebabnya dalam sebuah rilis pribadi, Anies Baswedan menyatakan akan berjuang di jalur politik masa mendatang melalui organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang akan dibentuknya.
Kabarnya, gagasan membentuk ormas atau partai politik itu mendapatkan sambutan hangat pula dari para pendukungnya. Mungkin itu pula yang menambah semangat dan asanya di perpolitikan mendatang pasca gagal di Pilpres dan Pilkada DKJ.
Tentu saja gagasan membentuk ormas atau partai politik oleh Anies Baswedan ini membutuhkan dukungan dana dan SDM yang besar di seluruh Indonesia. Bahkan beberapa partai politik eksisting, pastilah merasa waswas karena dengan terbentuknya partai baru tentu saja berimplikasi tergerusnya anggota partai yang akan beralih menjadi partai batu dalam ceruk pendukung yang berbasis sama.
Berbeda fakta dengan Pilkada Sumut, di mana PDIP mengusung Edy Rahmayadi yang bukan anggota PDIP untuk berlaga dalam kontestasi Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgub Sumut) mungkin menjadi antitesis atas prinsip berdiri bebas di tengah jalan ini.
Edy Rahmayadi yang di masa Pilkada lalu (2018) diusung oleh PKS, sukses mendapatkan wild card dari PDIP tentu mendatangkan hipotesis baru tentang warna politik dan partai di masa sekarang ini yang cukup signifikan perubahannya.
PDIP yang dulu merupakan fusi atau merger antara Partai Nasionalis Indonesia, Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik, justru mengusung Edy yang sebelumnya didukung oleh PKS yang berbeda platform politiknya dengan PDIP.
Hal ini embuktikan prinsip ideologi partai bukanlah sesuatu yang wajib digenggam erat oleh partai politik belakangan ini. Pergeseran prinsip mempertahankan ideologi partai menjadi prinsip yang lebih pragmatis dalam kehidupan berpolitik terkini, mungkin didasarkan pada perubahan zaman yang juga drastis.
Soal perubahan sikap partai dari ideologis menjadi pragmatis, apakah berdampak lebih baik atau lebih buruk dalam berdemokrasi dan berpolitik di Indonesia? Tentu menjadi debatable yang panjang, tergantung argumentasi masing-masing pihak.
Namun, satu hal yang tidak boleh dinafikan adalah bahwa tujuan utama demokrasi dan politik wajib berujung pada tujuan kemakmuran dan kemaslahatan rakyat sesuai cita-cita bersama. (*)
Editor: M Idris