PROSUMUT – Pasca disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja oleh DPR tentunya bakal menimbulkan reaksi dari kalangan buruh di sejumlah wilayah di Indonesia. Namun, aksi demonstrasi penolakan ini, juga dikhawatirkan bakal dapat memicu klaster baru penyebaran Covid-19.
Menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Medan, dr Wijaya Juwarna Sp-THT-KL, pada prinsipnya hak bersuara dan berpendapat telah diatur dalam UUD.
Masyarakat boleh saja menyuarakan pendapatnya tentang hal apapun selama tidak melanggar aturan hukum yang ada. Akan tetapi, karena berkaitan dengan pandemi tentunya protokol kesehatan harus tetap dijaga.
“Kalau biasanya minimal mengatur jarak 1 meter saat unjuk rasa, minimal 2 meter diatur jarak antar orang,” ungkapnya kepada wartawan, Selasa 6 Oktober 2020.
Selain itu, orator aksi tetap memakai maskernya ketika menyuarakan aspirasi. Tak hanya itu, diminta pihak yang berwenang dapat berperan ekstra untuk mengawal protokol kesehatan supaya tetap terjaga.
“Jadi memang di satu sisi kita meminta kesadaran buruh atau siapapun yang menyuarakan pendapatnya, dan di sisi lain kita mengimbau pihak yang berwenang agar lebih ekstra menjaga,” sebutnya.
Menurut Wijaya, bila seandainya aksi penolakan Omnibus Law ini masih bisa dilakukan dengan perwakilan, hal itu merupakan cara yang lebih baik. Namun, bila memang harus dengan mengumpulkan masa dalam jumlah yang banyak, hal ini harus dilaksanakan dengan ekstra hati-hati.
“Harus tetap memakai APD (Alat Pelindung Diri) minimal masker,” ucapnya.
Wijaya mengaku, sebagai tenaga kerja di rumah sakit, dokter tentunya juga akan terdampak atas pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini. Karena, pada akhirnya regulasi ini akan membahas legalisasi dokter asing ke dalam negeri.
“Kalau dulu ada namanya AFTA. Sehingga artinya, siapa saja yang punya izin boleh berpraktik. Jadi mau tidak mau (dokter) juga terdampak,” terangnya.
Kendati begitu, tutur Wijaya, karena kebijakan ini berkaitan dengan ibu kota (terpusat), maka sikap IDI tentunya bakal mengikuti instruksi dari Pengurus Besar (PB) IDI.
“Namun harapan kita yang namanya bernegara tidak boleh sendiri-sendiri. Rakyat membutuhkan pemerintah dan pemerintah juga membutuhkan rakyat,” sebutnya. Jadi pemerintah jangan melupakan rakyat dan rakyat juga harus mendukung pemerintah sepanjang untuk kebaikan rakyat itu sendiri,” tuturnya.
Disinggung soal respon IDI, Wijaya mengatakan, dinamika problem kesehatan belakangan ini memang sedang sangat banyak. Misalnya, kata dia, penunjukan anggota konsil yang ternyata perwakilan dari organisasi profesi baik IDI, PDGI dan lainnya yang tidak masuk.
Belum lagi, sambung dia, pernyataan salah satu menteri yang akan mengimpor dokter asing. Lalu muncul Permenkes yang berkaitan tentang kewenangan kompetensi radiologi, dan terakhir UU Cipta Kerja.
“Banyak yang akan direspon oleh PB IDI, jadi kita sabarlah menantinya. Pastinya, PB IDI sudah serius mengkajinya. Namun, sekali lagi kewenangan ada ditangan pemerintah. Tapi prinsipnya, rakyat jangan dilupakan dan pemerintah jangan melupakan rakyat,” tukasnya. (*)
Editor : Iqbal Hrp
Foto :