Prosumut
Umum

Saat Junior Berjaya, Tiba Senior Kok Selalu Kalah?

PROSUMUT – Kemenangan Timnas U-22 dengan memboyong Piala AFF ke tanah air patut membuat publik pecinta sepak bola Indonesia bernafas lega.

Setidaknya kemenangan pemain junior asuhan Indra Sjafrie membekuk Thailand di Vietnam membangkitkan harapan bahwa Indonesia sesungguhnya punya potensi besar sebagai macan di kancah persepakbolaan Asia.

Prestasi Timnas U-22 juga menjadi bukti bahwa olahraga dapat menyatukan bangsa sebagaimana ketika Asian Games 2018.

Hasil juara yang diraih tim sepakbola Indonesia mampu mengurangi kegaduhan politik nasional.

Hanya saja pertanyaannya, kenapa prestasi gemilang para pemain muda ini justru seringkali melempem, dan sulit mencapai puncaknya saat terpilih membela Timnas Senior?

Tentu ada banyak faktor yang mempengrauhi kenapa pada akhirnya Timnas Senior begitu sulit berprestasi di kompetisi Asia Tenggara.

Namun, seperti yang sudah terjadi, hampir sebagian besar para pemain Indonesia memang cukup bersinar saat masih membela Timnas Junior ketimbang di Timnas Senior.

Sebaliknya, saat bertambah usia, para pemain muda yang mulai tumbuh dewasa ini justru kehilangan arah.

Bahkan, tak sedikit pula yang melempem, performa permainannya menurun, hingga kariernya meredup dan berhenti bermain sepakbola atau pindah ke sepakbola tarkam.

Padahal, dalam banyak kesempatan, menurut mantan pelatih Timnas Putri Indonesia, Timo Scheunemannusia, usia dini dan usia muda merupakan masa pembentukan para pemain.

Itu artinya nanti hasilnya baru akan terlihat di kemudian hari saat mereka bertumbuh menjadi pemain senior.

Gagalnya para pemain muda untuk berkembang baik saat memasuki usia dewasa atau senior, tentu disebabkan banyak faktor misalnya seperti bergaya hidup kurang baik sebagai seorang atlet profesional.

Contoh saja kebiasaan malas menjaga kondisi fisik, konsumsi makanan yang tak sesuai, tidak disiplin, dan kerap membuat masalah di luar lapangan. Hal-hal seperti itu sudah seharusnya dibina sejak usia dini.

Konsistensi dan gaya hidup jadi faktor penting bagi seorang pesepakbola agar tetap bisa menjaga performa baik itu skill maupun fisik.

Dengan konsistensi dan gaya hidup yang baik maka pemain pun akan lebih terarah untuk memasang target-target yang ingin dicapai.

Tentu banyak contoh beberapa pesepakbola yang dinilai kurang konsisten dalam menjaga perkembangan permainan dan kariernya.

Misalnya saja ada Syamsir Alam dan Yongki Aribowo. Keduanya punya cerita berbeda perihal karier di dunia si kulit bundar.

Syamsir mulai meredup permainan dan kariernya lantaran gaya hidup sampai akhirnya banting setir menjadi publik figur, meski tak terlalu sukses juga.

Sementara Yongki mengalami inkonsistensi permainan. Sebagai catatan, Yongki sendiri pernah menyumbang medali perak pada SEA Games 2011, namun sempat cedera dan permainannya mulai tak konsisten hingga kariernya meredup.

Bahkan Yongki sempat mengalami penurunan karier dengan bergabung ke klub Liga 2, Aceh United. Lalu setelahnya ia juga sempat trial di PSMS Medan namun tidak memenuhi kriteria.

Hal-hal miris yang dialami Syamsir dan Yongki sendiri tentu harusnya bisa dicegah saat usia dini. Melalui pembinaan pemain yang tentunya menjadi modal untu membangun tim senior.

Bayangkan saja jika pembinaan pemain di usia muda tak berjalan dengan baik, maka hasil yang diraih saat usia senior pun tak akan baik. (*)

Konten Terkait

Shohibul Anshor: Masalah Tanah Sangat Klasik, Beda dengan Bagi-bagi Sertifikat Lahan

Editor prosumut.com

Rumah Milik Faisal di Desa Aekkanan Paluta Diduga Dibakar

Editor Prosumut.com

Ikut Demo, Komnas PA Sebut Pelajar Dieksploitasi 

Editor prosumut.com

Dibubarkan, Pelajar di Binjai Gagal Tawuran

Editor prosumut.com

Seratusan Imigran Gelap Bangladesh Digerebek Warga

Ridwan Syamsuri

Sama-sama Maknyus, Ini Beda Yakiniku & Bulgogi

valdesz
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara