Prosumut
Umum

Ratusan Jenderal dan Kolonel Menganggur di Mabes TNI, Apa yang Salah?

PROSUMUT – Ratusan perwira menengah dan tinggi TNI kini menganggur alias tak memegang jabatan karena kelebihan personel.

Akibatnya, para jenderal dan kolonel ini berkantor hanya untuk mengikuti apel harian, tanpa beban dan tanggung jawab pekerjaan.

Berlandaskan kondisi ini, pemerintah berwacana membuka puluhan jabatan baru untuk menampung para perwira ini, termasuk di lembaga sipil.

Namun usul itu memicu polemik soal kembali terjadinya dwifungsi militer era Orde Baru serta anggaran negara yang keluar sia-sia untuk gaji perwira tinggi yang tak memegang jabatan tersebut.

Anggota Komisi I DPR, Mohamad Arwani Thomafi, menyebut persoalan kelebihan perwira harus diselesaikan di dalam internal TNI.

Menurutnya kondisi ini tak bisa menjadi alasan pembenar agar militer berbondong-bondong keluar barak dan kembali bekerja di ranah sipil.

“Ada jabatan yang terbatas, itu kami pahami, tapi tidak perlu revisi undang-undang untuk memperbolehkan TNI duduk di jabatan sipil,” ujar Arwani, Rabu 6 Februari 2019.

“Langkah seperti itu akan jadi perdebatan di masyarakat dan TNI akan mundur ke belakang.”

Jumlah personel TNI terus bertambah di luar kebutuhan seiring usia pensiun yang diubah dari 55 menjadi 58 tahun.

Hingga akhir 2018, setidaknya 150 perwira berbintang dan 500 kolonel tanpa jabatan. Perwira itu tersebar di matra darat, laut, dan udara.

Padahal merujuk UU 32/2004 tentang TNI, selain bekerja di internal militer, hanya terdapat 10 lembaga sipil yang dapat menyediakan jabatan bagi para perwira tersebut.

Pakar militer, Salim Said, menganggap jumlah perwira dan jabatan yang tidak seimbang disebabkan kekacauan manajemen organisasi TNI.

Ia mengatakan persoalan ini tidak pernah tuntas sejak Orde Baru.

“Terlalu banyak perwira yang belum pensiun, tapi tidak ada jabatan. Harusnya ada perencanaan, kita sebenarnya perlu berapa jenderal, laksamana, dan marsekal,” kata Salim.

Menurut Salim, nuansa dwifungsi akan begitu kentara jika permasalahan kelebihan personel TNI diselesaikan dengan menebar perwira ke lembaga sipil.

Salim khawatir banyak pejabat sipil akan kehilangan masa depan karena kedudukan tertentu dikhususkan bagi tentara.

“Dulu Soeharto menabrak kesempatan tokoh sipil, terutama jabatan duta besar. Banyak orang Kementerian Luar Negeri mengeluh karena posisi mereka diambil para perwira militer,” kata Salim.

UU TNI memberikan jabatan di 10 lembaga sipil untuk para perwira militer.

Namun juru bicara TNI, Brigjen Sisriadi, menyangkal keterlibatan mereka di lembaga sipil dapat mengulang rekam jejak dwifungsi ABRI yang dianggap militeristik oleh pegiat demokrasi.

“Ada kementerian tertentu yang menggunakan tenaga perwira TNI, mereka keuntungannya, yaitu militansi, tapi bukan militerisme,” dia menambahkan.

“Dwifungsi menempatkan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia – sebutan TNI saat itu) sebagai kekuatan pertahanan, sosial, dan politik. Tapi politik sudah kami hindari sejak reformasi. Mencium bau politik saja kami sudah sakit gigi,” ucapnya lagi.

Sisriadi mengakui, pemberian jabatan sipil untuk perwira aktif TNI butuh proses panjang. Ia mengatakan kebijakan itu perlu bergulir ke DPR dengan revisi UU TNI.

Solusi terbaik untuk mempekerjakan kembali para perwira nirjabatan ini, kata Sisriadi, adalah pendirian lembaga lintas matra bernama Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) di tiga zona wilayah Indonesia.

Pembentukan badan komando ini digagas tahun 2010, tapi urung terealisasi karena anggaran pemerintah yang terbatas. Sisriadi mengatakan rencana itu kini telah disetujui Presiden Joko Widodo dan akan segera bergulir.

“Kalau sudah ada tiga Kowilhan, akan ada 60 jabatan jenderal baru dan 240 kolonel bisa terserap,” kata Sisriadi.

Tanpa terjun ke ranah sipil, TNI yakin persoalan kelebihan perwira dapat tuntas dalam lima tahun ke depan.

Lebih dari itu, tanpa keterlibatan di ranah sipil pun Sisriadi mengklaim kerugian anggaran akibat organisasi TNI yang terlampau gemuk akan tuntas setidaknya tahun 2023.

Dasarnya adalah Peraturan Panglima TNI 40/2018. Ia menyebut beleid itu menyesuaikan masa kerja pangkat tertentu dengan usia pensiun perwira yang berubah sejak pengesahan UU TNI.

“Revisi undang-undang butuh waktu. Ketika selesai, mungkin sudah tidak ada lagi persoalan kelebihan perwira. Setelah perubahan masa pangkat, secara alamiah 3-5 tahun ke depan jumlah perwira akan kembali normal,” pungkasnya. (*)

Konten Terkait

Penebangan Pohon di Desa Buluhawar, Dihut Sumut Lakukan Penyelidikan 

Editor Prosumut.com

Sepedamotor Kontra Truk, 1 Tewas

Editor prosumut.com

8 Pelabuhan Baru di Danau Toba Tinggal Tunggu Waktu

Editor prosumut.com

Sepekan Ini Sumut Berpotensi Hujan Lebat

Editor prosumut.com

Kini, Selebgram pun Diincar Petugas Pajak!

Val Vasco Venedict

Aceh Besar Diguncang Gempa 4,9 SR

Editor prosumut.com
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara