Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)
PROSUMUT – Pascabencana gempa besar dan tsunami beberapa tahun yang lalu, saya dimutasi oleh kantor tempat bekerja ke Padang, Sumatera Barat.
Rasanya, saat itu seperti diperintahkan memasuki daerah rawan yang penuh rasa was was atas kejadian bencana gempa dan tsunami, yang saat itu baru saja berlalu yang menimbulkan kerusakan dan korban yang banyak.
Tentu menimbulkan rasa takut dan ingin sekali agar perintah mutasi dibatalkan atau dialihkan ke daerah lainnya saja di wilayah Indonesia.
Namun perintah tetap perintah dan wajib dilaksanakan, maka dilaksanakanlah perintah SK mutasi tempat bekerja itu dengan berangkat ke Padang, walau hati deg degan dan penuh kewaspadaan.
Saat tiba di Padang, pertama sekali yang saya cari adalah gereja tempat ibadah, tidak lain untuk mengatasi rasa takut dan gundah gulana di hati.
Walau mengakui bahwa saya bukanlah orang yang terbilang saleh dan rajin beribadah, namun saat itu datang ke rumah ibadah dan berdoa dengan umat lainnya seperti sesuatu dorongan kuat yang sedikit banyak mengurangi rasa takut terhadap bencana yang mengancam.
Ditambah pula, saat itu beberapa kegiatan seminar disana dengan topik topik gempa megathrust dan tsunami yang mengancam dan seruan seruan untuk tetap waspada dengan uraian tata cara dan upaya penyediaan fasilitas berlindung dari bencana, membuat suasana hati semakin ketar ketir pula.
Itulah sebabnya rumah ibadah menjadi satu satunya tempat memohon dan untuk menenangkan hati, bukan hanya di gereja tetapi juga di masjid bagi teman teman muslim.
Pula rekan rekan sekerja muslim yang selama ini kuperhatikan tidak begitu rajin salat ke mesjid, saat itu terdorong untuk semakin rajin beribadah.
Mungkin dengan alasan dan dorongan hati yang sama pula sebagaimana fitrahnya manusia biasa, mencari tempat berlindung dan keteduhan hati disaat gundah gulana hanya kepada Yang Maha Kuasa.
Saling menguatkan diantara umat beragama dengan seruan untuk memperbanyak doa dan ibadah di rumah ibadah agama masing masing, sedikit banyak menenangkan hati pula.
Rasa toleransi dan saling menguatkan diantara teman dengan latar belakang agama berbeda itu pula yang membuatku betah dan dapat menjalani pekerjaan kantor sebagai pendatang di Sumatera Barat dengan selama beberapa tahun, ditambah pemandangan indah di beberapa tempat yang tidak dapat ditemui di daerah lain.
Namun apa yang terjadi belakangan di Padang akhir akhir ini sungguh sebuah ironi.
Kekerasan, pengerusakan rumah ibadah dan intoleransi di Kelurahan Padang Sirai Koto Tengah Padang sungguh mengusik pikiran waras tentang arti sebuah toleransi dan upaya hidup rukun tenteram diantara penduduk, baik yang minoritas secara keagamaan maupun yang mayoritas.
Lebih ironi lagi, intoleransi justru diawali dengan kedatangan RT dan lurah yang datang dan berpesan agar menghentikan kegiatan ibadah kepada pengurus rumah ibadah, kemudian terjadilah kekerasan dan pengerusakan rumah ibadah di negeri indah beradab dengan orang orang yang terkenal menjadi perantau ulung di banyak penjuru dunia.
Ironi yang menimbulkan pertanyaan, karena minoritas yang menjadi korban kekerasan dan pengerusakan rumah ibadah adalah warga keturunan Nias yang memang banyak populasinya di Padang.
Walaupun Pulau Nias masuk ke Provinsi Sumatera Utara, namun secara geografis Nias lebih dekat ke Padang daripada ke Medan.
Itulah sebabnya banyak warga Nias yang merantau dan tinggal di Padang, sebaliknya warga Padang banyak pula yang merantau dan mencari penghidupan bagi keluarga mereka di Nias.
Suatu interaksi sosial yang telah berlangsung damai selama berabad abad, kini terusik dengan kejadian intoleransi dan kekerasan.
Bagaimanapun juga, intoleransi pastilah lebih banyak mudaratnya dan minim bahkan tiada manfaat?
Kejadian sebab akibat dapat pula terjadi di wilayah Nias bagi warga Padang yang menetap dan mencari penghidupan di Nias, bila para warga tidak berbesar hati dengan rasa toleransi.
Menoleh ke belakang terhadap sejarah bangsa tentang kesepakatan para founding father dalam membentuk negara dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat menjadi acuan perlunya memelihara kesatuan dan toleransi.
Di masa lalu itu, fakta sejarah memperlihatkan perdebatan tentang bentuk negara yang sesungguhnya, alot, sangat keras dan penuh pertentangan dengan riwayat aneka ragam suku, bangsa,ras dan agama.
Di mana masing masing tokoh bangsa berdebat dan berdiskusi keras dan alot dengan berbagai kepentingan wilayah, agama dan golongan akhirnya dengan kebesaran hati masing masing sepakat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentuk final.
Bentuk final NKRI itu pulalah yang telah dijalani oleh negeri ini puluhan tahun. Tidak mudah, namun bentuk negara kesatuan itu sudah menjadi harga mati, dan butuh kebesaran hati warganya pula.
Ragam agama juga sudah menjadi kodrat yang telah berlangsung bahkan ribuan tahun, pula butuh toleransi dan kebesaran hati agar bentuk negara kesatuan tidak terusik.
Bila rumah ibadah tempat berdoa dan memohon perlindungan bagi manusia agar terhindar dari segala bencana dan mala petaka yang mengintai di negeri indah dan berdiri di ring of fire, cincin api fasifik ini telah dirusak dan dihancurkan, maka dimana lagi para warga berdoa dan memohon agar terlindungi dan terhindar dari segala bencana alam yang dapat datang setiap saat.
Saatnya bagi negara untuk bertindak dan menjadikan warganya lebih cerdas, bersatu dan toleran walau dengan berbagai ragam suku, ras dan agama.
Hidup bersama aman tenteram di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terkenal adab dan budayanya sebagai warisan para leluhur. (*)

previous post