PROSUMUT – Hujan itu adalah karunia dari Tuhan. Namun tidak sedikit masyarakat yang justru menilai hujan sebagai masalah atau bahkan penghambat rezeki seseorang. Terlepas dari itu, hujan kerap memicu terjadinya fluktuasi harga pangan.
“Di akhir pekan kemarin, kita melihat hujan begitu deras mengguyur Kota Medan, dan juga mengguyur banyak wilayah petani maupun jalur distribusi. Hujan yang lebat tersebut membuat aktifitas masyarakat banyak tertahan di rumah. Hujan yang berlanjut dari siang hingga ke malam tersebut memicu terjadi kenaikan harga pangan,” ujar Ketua Tim Pemantau Harga Pangan Sumut, Gunawan Benjamin, Selasa 8 September 2020.
Gunawan mengaku, dari tim pemantauannya di pasar tradisional, harga bawang merah, daging ayam dan cabai mengalami kenaikan rata-rata sekitar Rp 2.500 hingga Rp 3.000 per kilogram (kg). Selama melakukan pemantauan tersebut, hujan juga kerap membuat masyarakat enggan untuk datang ke pasar.
“Selain dikarenakan hujan membuat masyarakat dengan sendirinya tetap berada di rumah. Namun hujan yang kerap memicu becek, kotor, hingga bau tidak sedap juga membuat masyarakat enggan ke pasar,” katanya.
Menurut dia, di saat hujan terjadi bersamaan dengan aktivitas masyarakat (subuh menjelang siang), maka tren konsumsi bahan kebutuhan pokok kerap mengalami penurunan yang sangat potensial memicu penurunan harga.
Sementara, hujan yang terjadi siang, hingga malam atau bahkan berlanjut ke pagi hari. Jika hujan terjadi di wilayah petani dan jalur distribusi, maka kerap memicu kenaikan harga.
“Satu contoh yang terjadi belakangan ini adalah hujan yang terjadi siang hingga malam di sentra produksi (petani) memicu terjadinya penuruan stok sejumlah kebutuhan pangan di Medan. Seperti cabai merah yang naik dari Rp 24 ribuan menjadi Rp 27 ribuan, daging ayam yang semula Rp 25 ribuan menjadi Rp 27 ribuan, dan bawang merah yang semula Rp 24 ribuan juga naik Rp 27 ribuan per kg,” sebutnya.
Meski demikian, sambung Gunawan, hujan tidak memiliki pengaruh yang sama tapi tergantung waktu dan dimana hujan itu terjadi. Medan adalah pusat konsumsi (konsumen), sementara Kabupaten Karo atau wilayah pegunungan lain adalah sentra produksi (petani).
“Jadi kalau wilayah produksi diguyur hujan seharian, namun wilayah konsumen tidak maka kecenderungan harga akan naik,” cetusnya.
Akan tetapi, lanjut dia, kalau sentra produksi tidak diguyur hujan namun di pusat konsumsi diguyur hujan, maka potensi harga akan memiliki kecenderungan untuk turun. “Jika kedua wilayah tersebut diguyur hujan seharian, maka kecenderungan harga akan bergerak stabil, demand and supply masih akan berimbang seperti halnya kalau kedua wilayah justru cuacanya cerah seharian,” jelasnya.
Kendati demikian, tambahnya, itu hanya rumus jika hujan atau panas datang dan pergi selama satu hari dan tidak lebih. Tetapi kalau berkepanjangan, seperti musim hujan dan terus menerus atau musim panas dan panas berkepanjangan, ini juga bisa menimbulkan masalah gejolak harga nantinya.
“Jadi jangan pernah berpikir bahwa harga hanya digerakan oleh sisi permintaan dan penawaran saja. Tetapi cobalah untuk memahami bagaimana permintaan dan penawaran itu terjadi,” tukasnya. (*)
Foto :