OPERASI Tangkap Tangan (OTT) yang menimpa Romahurmuziy (Romy) menjadi pukulan telak bagi pernyataan Aqil Siraj. Pasalnya, Ketua PBNU tersebut pernah menyampaikan dalam sambutannya saat peringatan hari kelahiran ke-73 Muslimat NU bahwa peran agama seperti Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA, menteri agama harus dari NU.
“Kalau dipegang selain NU, salah semua,” ujarnya pada 27 Januari 2019 lalu.
Romy sendiri merupakan sosok yang memiliki figuritas tinggi di kalangan NU. Hal ini wajar lantaran ayahnya, M Tochah Mansoer, merupakan pendiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) sedangkan Ibunya, Umroh Machfudzoh, adalah pendiri IPPNU (Ikatan Pelajar Putri NU).
Selain itu, ia juga merupakan cucu dari Menteri Agama ke-7 KH M. Wahib Wahab dan cicit dari Kiai Wahab Hasbullah yang merupakan salah satu pendiri NU.
Kasus dugaan jual-beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) yang menyeret mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut makin memperpanjang deretan korupsi di lingkungan Kemenag. Sebelumnya, kejadian serupa juga pernah terjadi di kementerian yang berurusan dengan umat ini.
Pada kasus tersebut, Romy diduga telah menerima uang suap dua Kantor Wilayah di Jawa Timur. Pertama, dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur, Haris Hasanusin, sebesar Rp 250 juta.
Kedua, Romy juga diduga menerima uang sejumlah Rp 50 juta dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Gresik, Muhammad Muafaq Wirahadi.
Menurut hasil penyelidikan yang dilakukan KPK, uang yang diserahkan kepada Romy digunakan sebagai uang pelicin. Ini bertujuan untuk memuluskan jalan Haris dan Muafaq dalam lelang jabatan pimpinan tinggi di lingkungan Kemenag akhir 2018.
Ironisnya, uang yang disita oleh KPK ditemukan di laci meja kerja Menteri Agama. Tentunya kasus ini makin memperpanjang umur korupsi di lingkungan Kementerian Agama.
Sebelumnya, hal serupa juga pernah terjadi, seperti korupsi dana abadi umat dan biaya penyelenggaraan ibadah haji (1999-2003), korupsi proyek pengadaan barang untuk laboratorium IPA bagi Madrasah Tsanawiyah-Madrasah Aliyah (2010), korupsi pengadaan Alquran (2013), korupsi dana haji (2015).
Bahkan KPK pernah menempatkan Kementerian Agama sebagai kementerian dengan indeks integritas terendah.
Belum lagi kasus korupsi yang terjadi di Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag di masing-masing daerah. Cepat atau lambat, kasus yang menimpa Romy tersebut akan menambah keleluasaan KPK untuk menjerat korupsi yang terjadi di bawah. Bahkan bisa merambat pada lembaga pendidikan di bawah naungan Kemenag, baik perguruan tinggi maupun madrasah.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkapkan bahwa ada kejanggalan yang terjadi dalam pemilihan rektor di tiga UIN (CNN Indonesia, 20 Maret 2019); di antaranya adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023, UIN Makassar, dan STAIN Meulaboh.
Ketiga kampus tersebut hampir sama kasusnya, yakni terkait adanya dugaan jual-beli jabatan dalam birokrasi Kementerian Agama.
Fenomena demikian ini sungguh sangat memprihatinkan bagi kalangan masyarakat di tataran grass root. Kementerian Agama yang seharusnya mampu menjadi payung agama bagi masyarakat nyatanya dijadikan lahan aktualisasi penyimpangan oleh para pemangku jabatan.
Patut untuk direnungkan perkataan Buya Syafii Maarif: “Masihkah kita beragama saat berhadapan dengan kekuasaan?” Perkataan Buya ini tentunya menarik untuk dijadikan refleksi atas bobroknya Kemenag saat ini.
Hal tersebut tentunya menunjukkan betapa krisisisnya karakter yang dimiliki oleh para petinggi di Kemenag. Minimnya nilai karakter berupa integritas, kejujuran, dan moralitas masih menyelimuti para pemimpin negeri ini.
Maka benar apa yang dikatakan oleh Mahfud MD dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di TVOne, Selasa 19 Maret 2019. Ia mengatakan bahwa negara ini bisa hancur manakala ketidakberesan yang terjadi dalam birokrasi Kementerian Agama ini terus dibiarkan.
Ia menambahkan bahwa Kementerian Agama merupakan warisan para ulama. Jika dikelola secara semena-mena, pelakunya akan kualat. Maka seyogianya lembaga ini harus dikelola secara profesional, amanah, dan tidak semena-mena.
Kasus Romy di atas patut untuk dijadikan pelajaran bersama bahwa meskipun lembaga yang berlabel agama sekalipun, tidak menutup kemungkinan melakukan tindakan penyelewengan. Nilai agama yang disematkan dalam nama lembaga tersebut, faktanya, tidak diindahkan oleh para pengelola lembaganya.
Menjelang gelaran pesta demokrasi 17 April mendatang, tentunya menjadi motif bagi para elite dan politisi untuk melakukan tindakan korupsi. Budaya yang mengakar dalam kanca demokrasi di negeri ini masih tetap sama, yakni money politics.
Tentunya kita sebagai masyarakat harus mencegah budaya tersebut. Sudah saatnya negeri ini merekonstruksi paradigma demokrasi yang masih kotor dan jauh dari nilai keadaban.
Transaksi politik berkedok jabatan sudah seharusnya ditinggalkan jika demokrasi di negeri ini ingin bebas dari tindakan korupsi. Pendidikan karakter di sekolah hendaknya tidak hanya menjadi khazanah intelektual semata, namun harus ditanamkan sedalam-dalamnya. (*)