PROSUMUT – Banyak faktor yang menyebabkan anak mengalami stunting, salah satunya karena perilaku masyarakat yang salah terhadap pola asuh anaknya. Karena itu, pemerintah pusat maupun daerah diminta perlu mengubah perilaku masyarakat demi menekan stunting.
Ketua Harian Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Arif Hidayat mengatakan, pihaknya telah melakukan survei atau penelitian lapangan terkait stunting pada beberapa daerah di Kabupaten Langkat belum lama ini. Dari survei lapangan tersebut, menemukan fakta yang cukup mengejutkan bila dikaitkan dengan angka stunting di kabupaten itu.
“Faktanya masih jauh dari harapan pemerintah pusat menuju generasi emas tahun 2045,” kata Arif di Medan baru-baru ini.
Arif menjabarkan, pihaknya melakukan survei lapangan ke sejumlah rumah warga di Desa Paya Mabar, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Survei dilakukan karena kabupaten itu disebut daerah bebas stunting. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian karena ditemukan anak usia 2 tahun diberikan ibunya air putih dicampur dengan satu sendok gula sebagai pengganti Air Susu Ibu (ASI).
“Setiap hari anak tersebut mengonsumsi air putih dicampur gula bisa 15-18 botol. Akibat mengonsumsi itu, anak tersebut bolak-balik mencret hingga 5 kali sehari. Sedangkan kondisi fisik anak itu, berat badannya rendah (tidak normal di usianya) atau kurus, perut buncit. Sementara kondisi rumah orang tuanya semi permanen,” ungkapnya.
Jika dikaitkan dengan kategori stunting, Arif menyebutkan, maka daerah tersebut masuk dalam kategori stunting. Padahal, data yang disampaikan Pemkab Langkat terhadap angka stunting nol persen. “Indikator stunting ada tiga, antara lain pola konsumsi makanan yang salah, pola asuh dan dan sanitasi. Temuan yang kita dapatkan dari survei tersebut merupakan fakta di lapangan. Sementara, pemerintah daerah setempat menyampaikan data kasus stunting nol persen,” paparnya.
Arif mengungkapkan, survei lapangan juga dilakukan di Pangkalan Brandan dan Besitang. Di daerah tersebut, rata-rata para ibu menolak anaknya untuk diimunisasi. Alasannya, karena setelah imunisasi anaknya akan sakit atau demam. Kemudian, rata-rata orang tua di sana jarang memberi ASI kepada anaknya dengan alasan mencret kalau diberi ASI.
“Ada persepsi yang salah di masyarakat tersebut. Karena itu, perlu edukasi terhadap mereka untuk mengubah pola pikir atau persepsinya. Setelah itu, berlanjut mengubah perilakunya,” ungkap dia.
Menurut Arif, kalau pola pikirnya tidak diubah, maka penanganan stunting yang dilakukan akan percuma. Apabila bisa mengubah pola pikir, maka akan lebih mudah mengarahkan perilakunya.
“Kami berharap ada program atau kebijakan yang dibuat pemerintah baik pusat dan daerah untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap stunting. Sebab, saat ini program yang ada lebih cenderung kepada pemberian vitamin, makanan tambahan,” ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, generasi yang lahir saat ini diharapkan pada tahun 2045 atau satu abad Indonesia merdeka melahirkan generasi emas. Namun, persoalannya sekarang di Indonesia tingkat stunting cukup tinggi sekitar 22 persen (tahun 2021 sebesar 24,4 persen). Sementara target yang ditetapkan PBB yaitu di bawah 20 persen. “Tahun 2024 ditargetkan oleh pemerintah Indonesia turun menjadi 14 persen,” ucap Arif.
Stunting menjadi persoalan penting yang harus ditangani karena kecerdasan anak yang stunting menurun, daya tahannya lemah dan tubuhnya pendek. Makanya, Pemerintah Indonesia fokus menekan angka stunting. “Apabila generasi penerus seperti itu, tentunya target 2045 mencapai generasi emas tidak akan tercapai,” sambung Arif.
Dia menjelaskan, dampak stunting terhadap anak yakni fungsi otak menjadi lemah atau tidak berfungsi secara baik. Penelitian terbaru di Inggris, kalau tidak salah penyebab fungsi otak rusak atau tidak maksimal karena kebanyakan mengonsumsi gula.
“Susu kental manis merupakan salah satu turunan dari gula. Banyak orang tua yang menganggap susu kental manis adalah susu, dan mereka memberikan kepada anaknya. Padahal, susu kental manis sebetulnya bukan susu karena kandungan gulanya tinggi mencapai 50 persen sedangkan proteinnya rendah hanya 1 persen,” jelasnya.
Persepsi yang salah terhadap susu kental manis ini masih terjadi oleh banyak orang tua. Mereka menganggap susu kental manis layak diberikan kepada anaknya sebagai pengganti susu atau bahkan ASI. “Memberi anak minum susu kental manis, maka sama saja memberikan gula. Satu kali minum susu kental manis sudah melebihi ambang batas kebutuhan gula bagi anak. Jadi, kenapa banyak orang Indonesia banyak mengidap penyakit karena dampak dari konsumsi makanan atau minuman mengandung gula yang tinggi. Padahal, kelebihan mengonsumsi gula bagi anak maupun orang dewasa sangat berbahaya,” terang Arif.
Ia menuturkan, data konsumsi susu di Indonesia perbandingannya sangat jauh sekali antara susu kental manis yang dianggap sebagai susu dengan susu bubuk. Padahal, banyak negara maju menjadikan susu kental manis hanya sebagai topping makanan, bukan konsumsi utama atau pengganti susu bubuk maupun ASI.
Artinya, persepsi mereka terhadap susu kental manis sudah tepat, susu bubuk menjadi konsumsi utama bagi anak hingga tumbuh dewasa dan sebagai pengganti ASI. “Semakin tinggi konsumsi susu yang benar atau bukan susu kental manis, maka makin bagus SDM (Sumber Daya Manusia) yang dihasilkan,” tuturnya.
Arif menyampaikan, dari data yang ada ternyata Indonesia menjadi negara paling rendah dan terendah di Asia Pasifik untuk konsumsi susu yaitu hanya 16,62 kg per kapita. Karena itu, prevalensi stunting mencapai lebih dari 24 persen dan ukuran tinggi badan orang dewasa rata-rata 160 cm (nomor tiga terpendek di Asia Tenggara).
Sedangkan beberapa negara lain seperti Belanda, Swedia dan Finlandia, konsumsi susu lebih dari 300 kg per kapita. Karenanya, tingkat kecerdasan penduduk negara-negara tersebut tinggi, kualitas pendidikan sangat baik, rata-rata penduduk memiliki tinggi badan 180 cm, bahkan mampu menciptakan inovasi teknologi.
“Hasil survei, Indonesia menjadi peringkat kedua terbawah dari 61 negara untuk tingkat literasi gizi. Sedangkan hasil survei yang kami lakukan di Kendari pada tahun 2018, sebanyak 97 persen ibu-ibu menganggap susu kental manis adalah susu lantaran berwarna putih. Survei yang dilakukan di Kendari saat itu karena mendapat informasi ada balita berusia sekitar 8 bulan meninggal dunia, karena orang tuanya memberikan susu kental manis sebagai pengganti ASI dari lahir,” bebernya.
Arif menambahkan, pihaknya sudah menyampaikan masukan kepada BPOM agar kata susu pada susu kental manis dihilangkan, sehingga tidak lagi membuat persepsi yang salah di masyarakat. “Seiring berjalannya waktu, ternyata persepsi masyarakat terhadap susu kental manis sudah mulai membaik seiring gencarnya sosialisasi yang dilakukan berbagai pihak. Dari survei yang dilakukan pada tahun 2019, satu dari empat orang tua masih memberikan SKM (Susu Kental Manis) kepada anaknya. Sedangkan survei pada 2020, persepsi masyarakat terhadap SKM sudah menurun menjadi di bawah 50 persen,” pungkasnya.
Ketua Bidang Advokasi YAICI, Yuli Supriati mengungkapkan, data hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi balita stunting di Sumut mencapai 25,8 peren. Lebih memprihatinkan lagi, sebanyak 13 dari 33 kabupaten berstatus ‘merah’, dimana persentase stunting masing-masing daerah di atas 30 persen.
Mengacu pada SSGI 2021, Sumatera Utara berada pada urutan 17 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi. Kabupaten Langkat berada pada urutan ke-10 kabupaten/kota yang memiliki jumlah stunting tertinggi di Sumatera Utara, yaitu sebanyak 31,5 persen.
“Kami mendapat informasi bahwa di Langkat angka prevalensi stunting turun drastis, dari 30 persen lebih menjadi sekitar 15 persen. Padahal, Pemerintah Indonesia menargetkan tahun 2024 angka stunting turun menjadi 14 persen. Penurunan angka stunting di Kabupaten Langkat tentunya luar biasa. Kami terkejut mendapat informasi tersebut, karena di beberapa provinsi angka stunting turun berkisar hingga 5 persen,” ungkap Yuli.
Karena itu, pihaknya melakukan penelitian lapangan ke beberapa daerah di Langkat untuk membuktikan kebenaran informasi itu. Awalnya, penelitian dengan metode wawancara dilakukan ke Paya Mabar dan di sana menemukan masyarakat masih enggan anaknya diimunisasi dengan alasan sakit setelah imunisasi. Kalaupun ada anak yang diimunisasi tetapi tidak lengkap, misalnya hanya tahap awal saja dan imunisasi berikutnya tidak.
Kemudian, masalah ASI. Ibu-ibu di daerah tersebut ada yang tidak sampai 2 tahun memberikan ASI kepada anaknya. Nah, yang menjadi persoalan mereka tidak memberikan susu bubuk kepada anaknya sebagai pengganti ASI, melainkan susu kental manis. Padahal, susu kental manis bukanlah susu. Alasan ibu-ibu tidak memberikan susu bubuk karena tidak cocok bagi anaknya. Ketika diberi susu bubuk, anaknya mengalami mencret. “Ini persepsi yang salah, susu kental manis bukan susu, karena kandungannya lebih banyak gula ketimbang protein,” papar Yuli.
Selanjutnya, minat ibu-ibu membawa anaknya ke Posyandu sangat minim. Jikalau ada, petugas Posyandu yang jemput bola dengan mendatangi ke rumah warga.
Bahkan, ada 1 balita yang sehari-hari hanya minum air putih di dalam botol dengan ditambahkan gula sekitar 1 sendok teh. Namun demikian, ada juga beberapa ibu yang sudah mengerti pola asuh anak yang baik. Hal ini karena pengetahuan mereka, sehingga nutrisi gizi yang diberikan kepada anaknya seimbang dan imunisasinya lengkap.
“Tujuan survei lapangan yang dilakukan ini tak lain untuk membantu pemerintah dalam menekan angka stunting. Kami turun ke lapangan untuk menemukan fakta-faktanya. Lalu, kami sampaikan dan memberi masukan kepada pemerintah daerah setempat agar dapat merubah perilaku masyarakat terhadap pola asuh anaknya demi mencegah terjadinya stunting,” jelas Yuli.
Yuli menyatakan, data-data tentang bebas stunting di Kabupaten Langkat sangat berbeda jauh dari fakta yang ditemukan. Pola asuh, perilaku dan pola pikir yang salah dalam mengasuh anak masih ditemukan. “Mengubah perilaku masyarakat terhadap pola asuh anak yang baik dan benar menjadi unsur paling penting dalam menekan stunting. Karenanya, edukasi kepada masyarakat harus maksimal sehingga hasilnya efektif. Rantai stunting dapat diputus salah satunya dengan edukasi tersebut, termasuk nutrisi gizi anak,” ujar dia.
Ia melanjutkan, Indonesia tidak akan bisa mencapai generasi emas tahun 2045 kalau fakta-fakta di lapangan masih seperti itu. Belum lagi, pada tahun tersebut ada bonus demografi. “Kondisi anak yang stunting secara fisik bisa saja tidak terlihat. Misalnya, anak stunting kondisinya sehat akan tetapi intelegensi dan daya saingnya kalah dengan anak yang tidak stunting,” tandasnya.
Terpisah, Sekretaris Dinas Kesehatan Sumut Teguh Supriyadi mengatakan, mengubah perilaku yang salah di masyarakat dalam upaya penanganan stunting dibutuhkan upaya edukasi yang maksimal. Artinya, tidak bisa instan dan juga memerlukan dukungan dari berbagai sektoral termasuk peran serta tokoh masyarakat. “Perilaku yang salah seringkali menjadi kebiasaan atau bahkan budaya yang salah di masyarakat. Untuk mengubahnya tentu membutuhkan waktu dan kolaborasi, tak jauh beda seperti membudayakan memakai masker pada awal masa pandemi Covid-19,” kata Teguh saat diwawancarai di kantornya, Jumat 1 Juli 2022.
Terkait fakta-fakta indikator stunting yang ditemukan dari survei lapangan YAICI di Kabupaten Langkat, menurut Teguh, tentunya perlu dilakukan kajian dan salah satunya melakukan kroscek ke lapangan. Selanjutnya, menganalisis permasalahan yang ada dan kemudian menentukan solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
Teguh menyampaikan, tujuan akhir dari penanganan stunting adalah membangun generasi emas yang cerdas. Selain itu, juga membangun fisik yang ideal terhadap anak-anak generasi penerus bangsa. “Penanganan stunting yang dilakukan oleh negara-negara maju dimulai sejak anak di dalam kandungan sampai berusia 2 tahun paling tidak. Ini waktu yang sangat tepat membangun kecerdasan anak dan juga fisik yang ideal,” ujar dia.
Karenanya, dibutuhkan upaya penanganan kesehatan ibu hamil berkaitan dengan nutrisi. “Harus ada keseimbangan antara nutrisi mikro dan makro. Misalnya, pemberian protein, karbohidrat, lemak hingga vitamin harus berimbang sesuai kebutuhan. Untuk membangun kecerdasan janin, umumnya dengan pemberian protein. Sedangkan untuk membangun fisik ideal dengan pemberian karbohidrat lemak dan sebagainya. Namun, ini harus dijaga keseimbangan nutrisi sehingga tidak berlebihan atau kekurangan gizi,” sambung Teguh.
Ia juga mengatakan, upaya penanganan stunting tidak hanya soal pemberian gizi seimbang saja, karena hanya mampu memberikan kontribusi sekitar 30 persen. Untuk melengkapinya diperlukan hal-hal lain, seperti sarana dan prasarana mendukung, infrastruktur, pendidikan, kecukupan ketahanan pangan, edukasi pengetahuan, dan lainnya. “Penanganan stunting bukan semata-mata hanya urusan kesehatan, tetapi menjadi tanggung jawab bersama dalam upaya bagaimana meningkatkan kesehatan anak,” tandasnya.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Sumut Hery Valona Ambarita mempertanyakan terkait fakta hasil temuan YAICI mengenai persoalan stunting di Kabupaten Langkat. Padahal, di daerah tersebut secara data angka stunting mengalami penurunan “Apakah memang demikian, angka stuntingnya turun tapi kondisi di lapangan berbeda,” tanya Hery.
Meski begitu, Hery mengaku, fakta tersebut menjadi informasi dan masukan bagi pihaknya untuk mempertanyakan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat.
Mengenai upaya untuk merubah perilaku yang salah terhadap pola asuh anak, tentunya harus dilakukan penyuluhan terus menerus. Misalnya, terkait dengan bagaimana menyiapkan, memberikan makanan yang sesuai usia.
“Semua ini juga harus ada dukungan dari semua pihak, mulai keluarga, masyarakat, pemerintah dan swasta. Kemudian, pemberdayaan masyarakat supaya mampu menyediakan makanan yang sesuai kebutuhan gizi anak dengan bahan pangan lokal, digiatkannya kembali konselor menyusu, mengaktifkan kelas ibu bayi dan balita,” imbuhnya. (*)
Editor : Iqbal Hrp
Foto :