Oleh : H Affan Bey Hutasuhut, Jurnalis Majalah TEMPO (1987-1994)
SETIAP kali ada yang menyapa, “halo wartawan senior, gimana kabarnya wartawan senior, rasanya jadi risih. Apalagi ada pula orang yang mengatakan kepada rekannya, kenalkan ini teman saya wartawan senior.
Kalau dari segi umur, boleh jadi ungkapan itu benar adanya. Sebab usia sekarang sudah 69 tahun. Namun kalau dikaitkan dengan perkembangan ilmu jurnalistik, rasanya malu-maluin.
Dari mana orang mengukur kesenioran seorang wartawan. Kalau wartawan yunior, mudah direka. Selain masih jadi pemula, boleh jadi usiapun masih belia.
Ada yang bilang orang yang dipercaya menjadi pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, tentulah karena diyakini memiliki ilmu ilmu jurnalistik dan pengalaman yang matang.
Apalagi sekelas Presiden ILC Karni Ilyas, redaktur saya waktu sama-sama aktif di Mejalas Tempo.
Ada lagi yang berpendapat jurnalis yang meraih juara karya jurnalistik terbaik internasional ataupun nasional, layak dinobatkan sebagai wartawan senior.
Pandangan ini masuk akal. Namun seperti apapun kepiawaian seorang wartawan, redaktur, dan lainnya, tetap saja sulit teruji sebagai wartawan senior secara hakiki.
Kalau ada yang mau mengangkat derajad peraih karya jurnalistik tersebut sebagai wartawan senior, bisa saja dalam arti jurnalis yang paling pintar diantara peserta lainnya.
Hanya sebatas itu, lantaran secara hakikat sang juara masih belum khatam ilmu jurnalistiknya. Atau setidaknya sudah berapa persen jumlah ilmu jurnalistik yang dikuasainya.
Siapa yang tau sampai dimana batasnya ilmu jurnalistik. Kalau bus Murni jurusan Medan-Pangkalan Susu jelas diketahui di mana terminalnya. Jika dalam bentuk angka, misalnya, berapa juta, puluhan juta, ratusan juta, jumlah ilmu jurnalistik.
Kalau diketahui jumlah ilmu jusnalistik ada 1.000.000, misalnya, maka yang sudah menguasai 90 persen keatas bolehlah disebut wartawan senior. Inikan tak ada urusan dengan itung-itungan angka.
Saya menulis ini ni bukan berarti mengajak rekan wartawan untuk habis-habisan berburu ilmu jurnalistik.
Upaya itu akan mustahil dilakukan lantaran manuasia adalah insan yang fana, sarat dengan keterbatasan, sementara pemilik ilmu ada pada AllaH SWT.
Allah SWT, Yang Maha Memiliki segala ilmu takkan ada yang bisa menyamainya. Allah SWT memberi akal kepada hambanya agar digunakan untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.
Pertanyaannya apakah para wartawan sudah menggunakan akalnya untuk mempelajari banyak hal, kuhususnya perkembangan dunia jurnalistik ?
Sebab perkembangan ilmu dan teknologi berkembang cepat. Siapa yang tak siap menatap masa depan, maka akan lapuk di makan zaman. Perubahan terus berjalan, dan inilah risiko yang antara lain di hadapi oleh pemilik media cetak.
Genggamlah Bumi Ini Seluas Telapak Tanganmu
Meskipun manusia diberi akal, namun tetap saja sebagai insan yang fana, punya keterbatasan. Karena itu ada petuah orang bijak mengatakan, genggamlah dunia ini selebar telapak tanganmu.
Artinya, tetaplah belajar semampunya.
Petuah, “tuntutlah ilmu sampai ke negri China, gapailah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat,” kerap sering terdengar. Begitulah mulianya orang yang berjuang untut menuntut ilmu.
Begitupun, tetap saja ilmu yang dimiliki hanyalah sebutir debu yang beterbangan di alam semesta ini. Apalagi yang tak mau belajar, seharian duduk ngobrol di warung kopi seraya menanti berita dari humas.
Akan lebih runyam kalau redaktur hingga pemimpin redaksi pun tak memberi masukan apa-apa kepada wartawan untuk berita yang akan dimuat. Maka jadilah koran yang menampilkan berita wartawan belaka.
Akan berbeda jika konten koran adalah hasil pemikiran Pemimpin Redaksi, Redpel, dan redaktur. Dengan catatan, selalu belajar, belajar, dan belajar, hingga selalu up date dengan ilmu jurnalistik yang berkembang.
Kemudian aktif menggali informasi dari beragam sumber, seperti gubernur, walikota, kapolda, pangdam, hingga politisi, ekonom, bahkan tokh masyarakat lainnya.
Oleh Pemred, Redpel, dan redaktur, masukan ini dibahas bersama untuk menentukan apa anggle berita, siapa saja narasumber yang dikejar, apa saja pertanyaan oleh wartawan kepada narasumber, dan lainnya.
Hasil rapat ini kemudian diteruskan oleh Kordinar liputan kepada wartawan untuk keperluan konfirmasi kepada narasumber yang jadi sasaran wawancara.
Jadi pada dasarnya, konten berita yang akan dimuat ditentukan oleh redaktur hingga pemred. Tugas wartawan melakukan peliputan, dan membuat laporan hasil wawancaranya.
Termasuk peristiwa besar yang sewaktu-waktu terjadi. Karena terus konsisten menyerap ilmu, bergaul dengan segala lapisan masyarakat, maka redaktur dengan jeli cepat menentukan angle suatu peristiwa untuk diliput oleh wartawannya hingga tampil beda dengan media lain.
Kerena keterbatasan, proses seperti ini mungkin berbeda untuk berita dari daerah. Tapi kalau untuk peristiwa besar harus kordinasi karena tetap redaktur yang mengendalikan isi.
Yang jadi soal, apakah para pengasuh media senantiasa mau belajar sehingga tampilan berita ekslusif seperti ini bisa dilakukan secara konsisten, terpulang kepada masing-masing pengasuh media. (*)