PROSUMUT – Peristiwa penganiayaan kepada remaja di bawah umur karena alasan pencurian yang terjadi di Kelurahan Sei Berombang, Kecamatan Panai Hilir, Labuhanbatu, 23 Januari 2020 lalu, menjadi catatan penting bagi masyarakat di wilayah itu, betapa persoalan harusnya bisa diselesaikan dengan jalan damai.
Kekerasan mungkin menjadi alasan bagi sejumlah orang untuk memberikan rasa puas atau bahkan semacam keadilan versi masing-masing, dengan saling membalas tindakan hingga pelampiasan kemarahan. Namun dampaknya bagi kebidupan seakan begitu mengusik ketenangan dan keharmonisan masyarakat.
Tetapi ternyata, kekerasan dan dampaknya itu tidak berjalan lama. Masyarakat di Sei Berombang bersepakat untuk tidak lagi mempersoalkan peristiwa penganiayaan di kelurahan itu, dengan korbannya, dua remaja, Aditia dan Putra, pada akhir Januari lalu oleh AC dan DY (pemilik gudang BBM) yang kemudian diamankan aparat kepolisian.
Setelah berlalu hampir tiga bulan pasca peristiwa, akhirnya kedua pihak bersepakat untuk berdamai. Kepada dua remaja usia 14 tahun itu, pun diberikan semacam simbol/tanda perdamaian yang lebih tepatnya Upah-upah dalam istilah daerah di kawasan Pantai Timur Sumatera.
Acara Upah-upah yang ditandai rangkaian bunga rampai pun terlihat diberikan kepada Aditia dan Putra yang diiringi doa agar semangat dari keduanya bisa kembali kuat. Isinya pulut dan ayam goreng, sebagaimana biasa dalam resepsi adat pada warga pesisir (Melayu).
Warga setempat pun menerima keputusan tersebut demi kebaikan bersama. Tak terkecuali Tokoh Pemuda Kecamatan Panai Hilir, Muhammad Ikhwan. Baginya perdamaian antara keluarga korban dan pelaku membuat situasi di kelurahan itu aman dan damai.
Karenanya Ikhwan meminta semua warga tidak lagi membuat suasana menjadi keruh kembali. Karena baginya, pengadilan yang baik itu adalah berdamai, dan tidak perlu lagi mengungkit atau membuka peristiwa pahit masa lalu yang akibatnya bisa menimbulkan persoalan.
“Keluarga pelaku juga mengalami kerugian materi. Kalau itu dipersoalkan, tentu pengerusakan rumah itu melanggar hukum. Jadi tidak baik kalau bicara hukum (positif), sudahlah, jangan diributkan lagi. Yang pasti kami tahu kampung kami sendiri,” katanya menegaskan kearifan lokal masih kuat.
Meski Upah-upah berlangsung di Aula Kantor Camat Panai Hilir, tak mengurangi nilai sakral bahwa wilayah itu masih menjunjung tinggi norma ketimuran Indonesia. Termasuk unsur Forkopimcam yang ikut menyaksikan dan memberikan upah-upah (doa selamat) kepada Aditia dan Putra.
Di tempat lain, giliran Tokoh Masyarakat Tionghoa Alai Yamin yang mengapresiasi keputusan kedua belah pihak. Dengan begitu, tali persaudaraan sesama warga tetap terjaga.
“Berdamai adalah jalan terbaik. Walaupun berbeda suku, kita adalah saudara setanah air, bangsa Indonesia, satu tempat tinggal di Kelurahan Panai Hilir. Mari kita tutup persoalan ini, karena kedua belah pihak juga sudah berdamai,” kata Alai.
Simbol Upah-upah, persaudaraan, norma dan kebudayaan yang dimiliki warga Sei Berombang ini kemudian punya peran besar dalam menyelesaikan persoalan yang timbul di masyarakat. Termasuk menghormati pemuka Agama, tokoh masyarakat dan pemuda, dalam menjaga harmonisasi warga, terutama yang berbeda suku/etnis.
Kini, situasi di Sei Berombang pun kondusif. Kedua pihak berdamai, tak saling menuntut hukum, serta mencegah terjadinya konflik antar suku (SARA). (*)
Reporter : Hendro Syahputra Nasution
Editor : Iqbal Hrp