PROSUMUT – Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) berharap kepada pemerintah agar melihat berbagai pertimbangan dalam mengesahkan rancangan peraturan pemerintah terkait zat adiktif berupa tembakau, yang sepenuhnya melarang penggunaan rokok dan vape (rokok elektrik) di kalangan usia anak dan remaja 10 sampai 21 tahun.
Salah satunya, dengan menjadikan hasil kajian soal vape sebagai pertimbangan dalam mengesahkan peraturan tersebut.
Ketua Umum APVI, Budiyanto menyatakan, pihaknya telah membuat kajian dengan Badan Riset Nasional (BRIN) terkait penggunaan vape.
Kajian yang dilakukan ini dari berbagai sisi, seperti open system, close system, disposable. Dari kajian itu, yang dilihat adalah kandungannya.
“Kandungan dari semua yang dilakukan kajian ternyata baik, terutama cairan terbuka tidak ada masalah.
Artinya, kajian itu sudah oke dan kita tinggal menunggu hasilnya dirilis segera supaya masyarakat juga tahu bahwa faktor risiko antara rokok konvensional dengan elektrik berbeda,” ujar Budiyanto saat berkunjung ke Medan, Jumat 31 Mei 2024.
Dia menuturkan, dengan dirilisnya kajian itu, pemerintah dapat melihat dan mempertimbangkan bahwa terdapat perbedaan faktor risiko antara rokok konvensional dan rokok elektrik.
“Hasil kajian tersebut sangat baik. Kita sangat menginginkan agar hasil kajian itu segera dirilis, sehingga poin-poin dari kajian tersebut dapat menjadi pertimbangan khusus untuk industri rokok elektrik,” kata Budiyanto yang akrab disapa Budi JVS.
Ia mengaku, kajian tersebut memang sudah selesai. Hanya saja, memang hasilnya belum dirilis. “Kemungkinan dalam waktu dekat di bulan Juni atau Juli akan kita rilis hasil kajian itu,” ucap dia.
Menurutnya, kajian penggunaan vape yang dilakukan itu bukan tanpa sebab. Di negara United Kingdom (Inggris), vape 95 persen lebih baik daripada rokok konvensional.
“Inilah yang harus kita perjuangkan, sehingga perlu dilakukan kajian. Kita mau bernegosiasi dengan regulator (pemerintah) agar peraturan tersebut dipisah antara rokok konvensional dengan rokok elektrik. Sebab dari faktor risikonya, berbeda-beda,” sebut dia.
Budi menambahkan, kalau di UK, mau berhenti merokok dan datang ke rumah sakit, maka dokternya menyarankan untuk beralih ke vape. Hal itu berarti, secara tidak langsung di rumah sakit jualan vape.
“Mereka meyakini vape itu 95 persen lebih baik daripada rokok konvensional. Jadi, solusinya itu mereka sudah tahu. Akan tetapi, hal itu belum bisa diterapkan di Indonesia. Meskipun, pendapatan negara salah satunya diperoleh dari cukai, dan pendapatan itu cukup besar,” ungkapnya.
Lebih lanjut Budi mengatakan, APVI mengajak masyarakat untuk mengenali cara
penggunaan produk vape yang aman dan sesuai aturan. Dengan pengetahuan yang memadai, manfaat pengurangan faktor risiko dari produk inovasi ini akan semakin terasa.
Imbauan tersebut disampaikan dalam rangka memperingati World Vape Day yang jatuh pada 30 Mei 2024.
“Kami percaya bahwa vape mulai diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai produk inovatif dari tembakau. Hingga kini, tercatat sekitar 1.317 individu atau kelompok di berbagai provinsi yang terdaftar sebagai anggota kami.
Kondisi saat ini berbeda dibandingkan dengan ketika APVI pertama kali didirikan
pada 2015. Ketika itu, masyarakat masih belum banyak mengenal vape.
Sekarang, vape sudah dikenal, tetapi tantangannya adalah meyakinkan para pemangku kepentingan bahwa produk ini rendah risiko,” pungkasnya. (*)
Reporter: M Idris
Editor: M Idris