Prosumut
BeritaOpini

Pengesahan RUU TNI: Ancaman Independensi KPK & Kejaksaan junto Jurnalis!  

Oleh : Dr. Valdesz Junianto, Pemimpin Redaksi Prosumut.com / Prosumut TV ; Dosen PTS di Medan

SEORANG perwira tinggi aktif ditempatkan sebagai direksi di sebuah BUMN strategis, seperti perusahaan tambang atau konstruksi milik negara. 

Jika dia terlibat dalam korupsi proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah, KPK dan Kejaksaan akan kesulitan melakukan penyelidikan karena tersangka masih berstatus prajurit aktif.

Alih-alih diperiksa oleh KPK atau Kejaksaan, kasusnya justru ditangani oleh Mahkamah Militer yang kurang transparan, dan akhirnya vonis yang dijatuhkan bisa lebih ringan dibandingkan jika ditangani oleh peradilan umum.

Di lain waktu, seorang jurnalis mengungkap adanya korupsi besar dalam pengadaan alutsista oleh seorang pejabat militer yang ditempatkan di Kementerian Pertahanan. 

Dengan meningkatnya pengaruh TNI dalam kebijakan sipil, jurnalis tersebut bisa mengalami intimidasi, diancam dengan UU ITE, atau bahkan dikriminalisasi atas tuduhan mencemarkan nama baik institusi militer. 

Secara gradual muncul lah efek ketakutan (chilling effect), di mana masyarakat sipil menjadi enggan mengkritik kebijakan publik atau mengungkap korupsi karena takut mendapat represi.

Maka, dengan kasat mata bisa kita cermati, revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) bukan hanya berisiko mengancam kehidupan masyarakat sipil, tetapi juga berpotensi mengganggu independensi lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan. 

Jika RUU ini disahkan, ada kemungkinan semakin sulitnya pemberantasan korupsi, terutama dalam kasus yang melibatkan institusi militer.

Salah satu dampak paling nyata dari RUU TNI adalah terbatasnya ruang bagi KPK dan Kejaksaan untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI. 

Jika sebelum revisi UU ini ada 10 lembaga negara yang “diakuisisi” TNI, kini setelah revisi bertambah menjadi 14 lembaga negara.

Yang mengejutkan tentunya pertambahan posisi “akuisisi” itu ada pada Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

Saat ini, kasus yang melibatkan prajurit TNI masih ditangani oleh peradilan militer, yang sering kali dianggap kurang transparan dan lebih cenderung melindungi institusi dibanding menegakkan hukum secara independen.

Jika prajurit aktif diizinkan menduduki jabatan sipil—termasuk di kementerian dan BUMN—maka peluang keterlibatan mereka dalam kasus korupsi akan meningkat. 

Namun, ketika mereka terjerat kasus hukum, mereka bisa berlindung di bawah mekanisme peradilan militer, yang tidak memiliki standar transparansi dan akuntabilitas setara dengan peradilan umum atau proses penyidikan di KPK.

Sebagaimana saya sampaikan di atas, RUU TNI membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki posisi di lembaga sipil, termasuk di instansi penegak hukum seperti Kejaksaan.

Jika ini terjadi, ada risiko bahwa penegakan hukum akan semakin bias dan tidak independen, terutama dalam kasus yang menyangkut kepentingan militer atau elite yang memiliki hubungan dengan militer.

Garis bawahi: semua mereka yang memiliki hubungan atau akses ke militer.

Tak ayal, siapapun yang mengalami masalah atau berpotensi mengalami masalah karena tersandung skandal penyelewengan anggaran negara, amat sangat terbuka untuk meminta “suaka hukum” dari kalangan elite militer jika anggota korps mereka “dikaryakan” di lembaga yudikatif.

Bayangkan jika seorang jenderal aktif ditempatkan dalam posisi strategis di Kejaksaan Agung.

Saat ada laporan dugaan korupsi pengadaan alutsista di Kementerian Pertahanan atau kasus pelanggaran HAM yang melibatkan militer, jaksa di bawahnya bisa merasa terintimidasi atau enggan mengusut tuntas karena atasan mereka memiliki latar belakang militer. 

Situasi ini bisa menciptakan konflik kepentingan yang melemahkan independensi Kejaksaan.

Jika RUU TNI disahkan, ruang kebebasan masyarakat sipil dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, termasuk dalam isu korupsi, bisa semakin menyempit. 

Dengan semakin kuatnya peran militer di ranah sipil, bukan tidak mungkin tekanan terhadap aktivis antikorupsi, jurnalis investigasi, dan akademisi yang kritis akan meningkat.

Sejatinya, pengesahan RUU TNI tidak hanya mengancam supremasi sipil tetapi juga melemahkan independensi lembaga penegak hukum seperti KPK dan Kejaksaan. 

Dengan semakin sulitnya mengusut kasus korupsi yang melibatkan militer, impunitas bisa semakin mengakar, dan pemberantasan korupsi di Indonesia bisa mengalami kemunduran serius.

Oleh karena itu, masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis harus bersuara untuk menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU TNI ini. 

Jika tidak, Indonesia bisa kembali ke era di mana militerisme dan impunitas merajalela, dan demokrasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade bisa terancam hancur. (*)

Editor: Val Vasco Venedict  

Konten Terkait

Bakti Sosial di Pusat Gempa Taput, YSKI Bangkitkan Semangat Warga Terdampak

Editor prosumut.com

Messenger Rooms, Aplikasi yang Bakal Geser Popularitas Zoom

valdesz

Songsong Indonesia Emas 2045, UINSU Persiapkan Alumni Unggul, Kompetitif dan Berkualitas

Editor prosumut.com

Berjuang Mencari Keadilan

Editor prosumut.com

Diisukan Maju Pilpres 2024, Begini Kata RK

Editor prosumut.com

Ajukan Sejumlah Syarat, F-PDIP DPRD Sumut Setujui P-APBD 2021

Editor prosumut.com
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara