Prosumut
Opini

Do They Know It’s Christmas?

Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)

PROSUMUT – Pada tahun 1984, musisi Bob Geldof dan Midge Ure merencanakan dan mengadakan konser kolosal musik Live Aid dengan thema penanggulangan kelaparan di Ethiopia.Konser musik yang dibanjiri penonton di beberapa tempat seperti Stadion Wembley London, Stadion JFK di Philadelpia, Sydney, Moskow dan tercatat sebagai siaran langsung televisi terbesar dengan miliaran pemirsa diseluruh dunia.

Di samping itu, berhasil mengajak para musisi beken berpartisipasi seperti Bob Dylan, Bryan Adams, Diana Ross, David Bowie, Elton John, Paul Mc Cartney dan sederetan band beken seperti Queen, The Police, U2, CAR dan musisi top lainnya.

Konser musik Live Aid ini berniat melakukan penggalangan dana untuk membantu menanggulangi kelaparan di Afrika, utama nya di Ethiophia, niat mulia dari para musisi dunia yang mendapatkan apresiasi tinggi dari banyak negara di dunia.

Salah satu lagu yang direkam bersama para musisi top saat itu berjudul ‘Do They Know It’s Chrismas?’, bercerita tentang Afrika yang mengenaskan dengan bahaya kelaparan yang mengintai serta ajakan kepada dunia untuk peduli kepada mereka.

Lirik lagu yang mempertanyakan; jangan jangan orang Afrika tidak tahu hari natal sedang dirayakan di seluruh dunia.

Jangankan merasakan indahnya salju di saat natal, rakyat Afrika digambarkan kurus kering kekurangan gizi, stunting, pengangguran, hidup di negeri tandus dan berbagai kesulitan mendasar hidup manusia, yang membuat miris rasa kemanusiaan.

Namun, walau lagu ‘Do They Know It’s Christmas’ bernuansa ajakan peduli kemanusiaan tetapi tidak semua orang Afrika, terutama orang Ethiopia terhibur dan bersenang hati.

Bahkan beberapa rakyat Ethiopia menunjukkan rasa marah dan kejengkelan mereka atas lyrik lagu itu.Pertanyaan dan lirik lagu ‘Do They Know It’s Christmas’ dianggap sebagai penghinaan.

Dawit Giorgis, salah seorang pejabat di lembaga semacam kementerian komunikasi menyangkut promosi negara Ethiopia atau pariwisata ikut menyuarakan kejengkelannya.

Ethiopia yang mayoritas Kristen memiliki sejarah panjang kristen othodoks mungkin tidak rela dianggap tidak tahu tentang hari natal. Bahkan Dawit berkilah bahwa sebelum Inggris atau Dublin Irlandia negeri kelahiran Bob Geldof itu mengenal hari natal, Ethiopia sudah terlebih dahulu merayakan hari natal, ribuan tahun lalu.

Lirik prihatin lagu tentang indahnya salju di saat natal yang tidak pernah dirasakan oleh orang Afrika dalam lagu itu dianggap tidak relevan tentang sukacitanya orang Afrika tentang natal.

Mereka menyindir dengan mengibaratkan perlunya mengirimkan radiator kepada orang-orang Norwegia di saat kedinginan di musim dingin.

Boleh jadi, jauh dilubuk hati Bob Geldof dan kawan kawan sesama musikus yang menggalang keprihatinan dunia bagi Ethiopia adalah murni dari hati yang tulus membantu sesama oleh karena rasa kemanusiaan.

Akan tetapim, menunjukkan keprihatinan dan rasa kemanusiaan ternyata tidak semudah itu. Berbagai hal dan persepsi dapat saja timbul mulai dari positif sampai pada pandangan negatif, memang begitulah fitrah manusia dan dunia, tergantung dari masing masing sudut pandangnya.

Demikian pula pandangan dunia umumnya yang menggambarkan Ethiopia sebagai negara tandus, kering kerontang dengan rakyat nya yang kurus kering yang sama gambaran tandusnya dengan negeri itu, ternyata mendapatkan respon tidak menyenangkan bagi rakyat Ethiopia dengan stereotype melekat seperti itu.

Ethiopia saat ini dengan mekanisasi pertanian modern sebagai dampak dari revolusi pertanian mereka menunjukkan kemajuan pembangunan di negara itu berpeluang sebagai lumbung pangan utama di Afrika.

Karena itu, gambaran streotype umumnya Ethiopia yang tandus dan kering kerontang dengan orang orangnya yang kurus kering kelaparan sungguh telah berubah jauh sebagai dampak kerja keras negara mereka dalam pembangunan ekonomi dan pertanian.

Namun streotype tandus dan kurus kering yang terlanjur melekat dengan Ethiopia menjadi pekerjaan rumah bagi humas pemerintah di negara itu yang berkaitan dengan parawisata dan investasi ekonomi di samping harga diri negara, menghilangkan streotype manusia Ethiopia yang kurus melarat.

Masih banyak tempat indah dan sejarah harum di negara itu yang perlu diketahui dunia.

Di saat ini, hari raya natal dirayakan di Ethiopia dengan meriah seperti halnya perayaan di ribuan tahun sejarah panjang Orthodoks Ethiopia.

Mereka tidak membutuhkan salju salju natal untuk tetap mengapresiasikan sukacita natal yang dirayakan.

Salju natal hanyalah pernik perayaan yang berbeda di budaya yang berbeda pula.

Sebagaimana perayaan natal dengan kemeriahan mal mal atau pusat pusat perbelanjaan di kota kota besar Indonesia dan kota besar dunia umumnya, pula menggambarkan natal yang jauh dari esensi utamanya, dapat pula menjadi bias dan semu.

Sejatinya natal tetap menggambarkan kesederhanaan, sukacita dan perdamaian dunia, berbeda dari gambaran gemerlapnya lampu dan pernik natal lainnya seperti yang terpajang di mal mal dan pusat perbelanjaan sebagai arena promosi produk dan barang barang belanjaan yang dikemas indah menawan berwarna warni.

Selamat merayakan hari natal, jangan biarkan natal hanya sebuah pernik berhias pita warna warni dalam sebungkus kotak kado tanpa esensi utamanya, kesederhanaan dan perdamaian dunia. (*)

Konten Terkait

Hang Tuah, Hang Jebat, Ferdy Sambo

Editor prosumut.com

Dapatkah Kebijakan Dipidana?

Editor prosumut.com

Kekerasan Terhadap Ulama, Kebetulan atau Pengkondisian?

Editor Prosumut.com

‘Perasaan Merdeka’

Editor prosumut.com

Ngeri-ngeri Sedap Danantara

Editor prosumut.com

Ken Dedes

Editor prosumut.com
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara