PROSUMUT – Imlek alias Tahun Baru menurut kalendar tradisi Tionghoa jatuh hari ini Selasa 5 Februari 2019.
Berbicara mengenai tahun baru etnis Tionghoa ini, pastilah selalu identik dengan dekorasi serba merah dan emas. Tak hanya itu, atraksi barongsai dan tarian naga pun menjadi hal wajib yang disaksikan secara langsung.
Semua elemen khas Imlek tersebut belakangan sudah meramaikan beberapa pusat perbelanjaan yang ada di kota-kota besar di Indonesia. Makna dari perayaan Imlek sesungguhnya adalah pergantian tahun.
Kata Imlek berasal dari dialek Hokkian yang berarti kalender bulan (Im=bulan, Lek=penanggalan). Di luar, perayaan ini lebih dikenal dengan “Chinese New Year” untuk orang-orang Barat, sementara orang Tiongkok asli menamakannya “Guo Nian” atau “Xin Jia” yang berarti bulan baru.
Tahun ini Imlek jatuh pada 5 Februari 2019. Karena merujuk pada kalender China yang mengikuti pergerakan bulan, jatuhnya Tahun Baru Imlek tidak pernah tetap. Namun umumnya, terjadi antara pertengahan Januari atau Februari.
Di Indonesia sendiri, Imlek menyimpan berjuta sejarah yang tak terlupakan. Jauh sebelum bisa diselenggarakan dengan meriah seperti sekarang, Imlek dulu sempat dilarang.
Hal itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa, termasuk Imlek, Cap Go Meh, Pehcun, dan lain sebagainya hanya boleh dirayakan secara tertutup.
Alasan dilarangnya Imlek saat itu, pemerintah tak ingin ada kebiasaan atau kebudayaan Tionghoa, termasuk agamanya karena dianggap berpotensi membuat jarak antara warga asli dan keturunan Tionghoa di Indonesia.
Kebijakan diskriminatif ini pada akhirnya semakin mengukuhkan sentimen anti Tionghoa dalam kehidupan bermasyarakat. Puncaknya, ketika krisis ekonomi 1998 terjadi.
Kala itu, banyak warga Tionghoa yang terpaksa harus eksodus ke luar negeri.
Seiring dengan berakhirnya rezim Orde Baru, instruksi soal larangan Imlek ini pun berubah. Tepatnya ketika Gus Dur diangkat menjadi Presiden ke-4, beliau dengan kebijakannya yang baru membuka kebebasan bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan Imlek serta tradisi lain.
Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2001 yang diteken Gus Dur pada 9 April 2001 lantas meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi yang merayakan.
Bahkan di bawah kepempimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri, Imlek bukan lagi bersifat perayaan fakultatif. Melainkan sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek tertanggal 9 April 2002.
Berbeda lagi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai menjabat sebagai Presiden ke-6 Indonesia. Pria yang popular disapa SBY, menandatangani Keppres yang menghapus istilah China dan kembali ke istilah etnis Tionghoa.
Menurutnya, tidak adil apabila mereka yang sudah lahir, besar dan bekerja serta mengabdi di Indonesia masih mendapatkan stereotype dengan penyebutan istilah etnis China atau Cina.
Hingga kini, Imlek jadi tradisi warga keturunan Tionghoa yang dirayakan secara terbuka dan besar-besaran di Indonesia. Kehadirannya selalu disambut dengan suka cita.
Bukan hanya bagi mereka yang merayakannya saja, namun unsur atraksi barongsai dan angpaonya juga dinikmati masyarakat asli pribumi.
Diskriminasi kini menjadi penggalan cerita lama, mengingat keberagaman etnis yang tak mungkin dieliminasi salah satunya. (*)