PROSUMUT – Terkait protes warga Desa Bandarsetia Kecamatan Percutseituan, Deli Serdang Kamis 30 Januari 2020, atas keberadaan pabrik timah (aluminium) yang meresahkan dan menimbulkan polusi udara, ternyata disebutkan bahwa keberadaannya diduga ilegal.
Hal itu diperkuat dengan keterangan yang disampaikan Kepala Desa Bandarsetia, Sugiato. Menurutnya keberadaan pabrik pengolahan (peleburan) timah di Jalan Lapangan, Dusun 7 itu sejatinya hanya pengumpul barang bekas alias botot.
“Kalau soal ijin itu di Deliserdang (Pemkab). Jadi silakan tanya ke sana,” sebut Sugiato.
Sugiato pun mengaku pernah mengetahui bahwa ijin diberikan Pemkab Deliserdang adalah pengumpulan barang bekas atau botot. Namun untuk ijin berikutnya, ia mengaku tidak tahu, meskipun berdasarkan lokasi, aparat pemerintah desa hingga dusun, seharusnya diberitahu atau dimintai konfirmasi.
“Saya nggak ada neken (tandatangan keterangan atau konfirmasi). Selama saya Kepala Desa, tidak ada menandatangani apapun yang ada di dalam ini (pabrik),” tegasnya.
Sugiato pun berjanji segera menyurati kepolisian hingga ke Polda, perihal tuntutan warga untuk menyegel pabrik agar tidak beroperasi lagi.
Sementara dari keterangan Kepala Dusun 7 Desa Bandarsetia, Marsono mengungkapkan bahwa keberadaan pabrik telah membuat kesehatan warga memburuk.
Terutama di bagian pernapasan, hingga ada yang terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
“Beberapa kita tahu sudah banyak mengeluh. Bahkan ada yang sudah ke rumah sakit, dan dinyatakan ISPA. Hasil pemeriksaan kesehatannya pun sudah kita laporkan ke pihak terkait. Itu baru satu orang, karena mungkin yang lain takut membuka ini,” katanya.
Pihaknya pun berharap, pemerintah dalam hal ini tidak tinggal diam atau menunggu. Sebab kondisi pencemaran yang mereka rasakan bertahun tahun, seperti tidak ada jalan keluar. Bahkan hingga rekomendasi DPRD Deliserdang pun seperti tidak diindahkan perusahaan.
Tidak hanya itu, seorang warga di Desa Kolam Dusun Perhubungan, Ahmad mengaku mereka yang tinggal jauh, sekitar 1 Km dari pabrik tersebut, juga kerap merasakan asap menyengat.
Pasalnya dari jarak tersebut, masih banyak ladang tanaman palawija. Sehingga ketika arah angin ke permukiman, aroma pembakaran timah sangat mengganggu pernapasan warga di desa tetangga.
“Kami juga sering menghirup asap menyengat pada malam hari. Sampai harus tutup pintu dan jendela, padahal masih jam 19.30 Wib. Kalau di luar, pasti nggak tahan,” katanya. (*)