SEPERTI yang dikabarkan di sini, penjualan oplah koran di Indonesia terus menurun.
Faktor pertama tentu disebabkan oleh masifnya penggunaan internet, jejaring sosial, dan smartphone yang memungkinkan penyebaran informasi secara real-time, masif, cepat, dan instan.
Industri media massa secara natural melihat adanya demand atas informasi secara media online yang menjanjikan dan mulai meninggalkan media cetak.
Faktor kedua adalah akses. Di luar biaya paket data, membaca berita pada media online bisa dikatakan hampir 99 persen gratis, bisa dijangkau kapan pun dan di mana pun.
Untuk mengakses koran, kita tentu harus membayar biaya demi koran itu sendiri. Terlebih daya jangkau edarnya terbatas.
Ketiga, media cetak biasanya menyubsidi harga koran untuk pembaca. Pendapatan media cetak sebagian besar datang dari iklan.
Media online dengan tampilan virtual memungkinkan iklan dipresentasikan dengan cara-cara yang kreatif.
Apalagi kalau traffic situs begitu masif, maka pendapatan iklan via koran cetak kalah menggiurkannya.
Terakhir, koran cetak memuat informasi yang “terbatas”. Informasi yang ditawarkan tentu aktual.
Hanya saja, informasi yang bersifat perkembangan secara real-time tidak ada di sana.
Media online sama halnya dengan berita di televisi, dapat menyiarkan informasi atau kejadian yang berlangsung pada saat itu juga.
Lalu, pertanyaan besarnya, di saat gempuran tren informasi digital menggerus penggunaan kertas, lantas apa yang tersisa buat kertas sebagai media penyebaran informasi yang hingga kini masih digunakan?
Pertama, kertas menyisakan kebahagiaan.
Lain nasib dengan koran, buku fisik dengan bahan utama kertas sebagai medium penyampai informasi belum bisa digeser oleh e-Book atau buku digital.
Riset IKAPI, misalnya, pada tahun 2016, dikutip dari sini, menunjukkan kalau penjualan buku digital di Indonesia masih rendah. Masyarakat lebih memilih buku fisik ketimbang buku digital.
Saya sekalipun belum pernah membeli buku digital. Kalaupun punya, membacanya tidak lebih dari 10 menit karena mata cepat sekali lelah.
Bahkan, saya tidak tahu bagaimana cara membeli e-Book dan aturan mainnya; apakah bisa dipindahtangankan layaknya meminjami buku fisik pada orang lain dan seterusnya.
Maafkan keabaian saya yang satu ini. Mungkin faktor yang saya miliki itu juga merupakan alasan buat orang lain untuk lebih memilih buku fisik? Siapa yang tahu.
Lalu, memiliki berbagai koleksi buku fisik yang bisa dipegang, dinamai, dirawat, dihirup aroma dan dibuka tiap lembarannya membuat kita serasa punya perpustakaan mini. Kepuasan batin bagi sebagian orang.
Punya segudang e-Book, meski irit tempat, tetap akan terasa seperti tidak memiliki koleksi bacaan apa pun. Kalau Anda tidak, biarlah ini jadi urusan personal saya.
Membuka notebook hanya untuk sekadar membaca, buat saya, adalah pekerjaan sia-sia. Melelahkan mata dan boros listrik.
Membaca buku lewat gawai sama halnya menyiksa mata. Apalagi gawai yang saya miliki masuk kategori kelas tanggung; layarnya kecil dan sempit.
Membaca chat atau berita di internet tentu lain hal. Sebuah artikel bisa dibaca dengan cepat dan selesai dalam hitungan menit.
Sementara buku tidak. Di sana ada puluhan halaman bergantung dengan subjeknya.
Membaca berarti memahami, berpikir, dan memperoleh gagasan baru. Hal itu tentu tidak bisa dilakukan dengan cara yang instan, apalagi jika membaca dalam proses belajar.
Membaca buku digital tidak sama nikmatnya dengan membaca gosip internet.
Menyantap artikel ringan di internet tentu menghibur. Itu tidak jauh berbeda dengan kegiatan rekreasi lainnya, yang sesekali kita perlukan.
Pun tidak akan mati juga kalau kita tidak lakukan.
Buku fisik dapat dipindah-tangankan, entah untuk dijual kembali atau sekadar dipinjamkan. E-Book? Saya belum paham aturan mainnya.
Sejauh yang saya tahu, e-Book yang banyak beredar adalah hasil membajak buku yang bentuk awalnya adalah buku fisik. Diedarkan di internet yang kebanyakan gratis.
Kalau membaca buku yang murni hanya ada bentuk e-Booknya, saya tidak pernah sama sekali. Semoga dalam waktu dekat ada kesempatan buat melunasi itu.
Membeli buku asli merupakan sikap. Tanda bahwa kita menghargai penulis, editor, penerbit, desainer sampul, pekerja logistik, dan pihak lain yang terlibat dalam melahirkan buku itu.
Dengannya, kita mendorong semangat berkarya, berlomba untuk memberikan gagasan terbaik pada masyarakat dalam membangun peradaban yang menghargai kerja keras orang lain.
Kedua, kertas menyisakan otoritas.
Buku buat saya adalah manifestasi paling mulia dari penggunaan kertas.
Bagaimana tidak, untuk membuat kertas, diperlukan aksi menebang pohon yang berusia sedikitnya lima tahun sebagai bahan bakunya.
Dari situ, aksi perusakan buku, pembakaran dan sejenis lainnya merupakan suatu tindakan tercela entah itu di belahan bumi paling jauh sekalipun (disamping itu merupakan suatu pelecehan pada penulisnya).
Nih misalnya, pembuangan skripsi yang menuai cibiran.
Aksi razia buku “terlarang” apa pantas masuk ke dalam tindakan tercela? Tentu saja!
Pertama, tindakan tadi memerkosa hak yang melekat pada individu untuk berkarya, menyebarluaskan gagasannya pada masyarakat, serta menghalangi hak orang lain untuk memperoleh, menikmati, dan mengetahui karya tersebut.
Jika karya tersebut meresahkan masyarakat, membuat keributan, berisikan fitnah, ajaran kebohongan, dan ujaran kebencian misalnya, apakah tidak boleh langsung dilarang?
Tentu saja boleh, asalkan melewati proses peradilan terlebih dahulu, dan memperoleh putusan hukum yang tetap dan mengikat.
Jika tidak, razia dan pelarangan buku adalah tindakan bodoh. Membiarkan itu sama dengan membiarkan kedunguan di masyarakat terus berlanjut dan berkembang biak.
Pernah dengar kabar ada razia konten internet yang berkaitan dengan Marxisme? Jarang, kalau tidak boleh disebut; tidak pernah ada.
Paling-paling yang sulit untuk diakses karena diblokir di internet wilayah bagian Indonesia adalah konten porno. Meski ada 1001 untuk mengkaksesnya. Hore!
Begini, biar fair. Kalau aksi razia buku itu adalah supaya Marxisme tidak menyebar di masyarakat (di luar tujuan akademis)—terlepas dari perdebatan halal-haramnya kajian Marxisme atau hukum yang mengatur tentangnya, di sini saya tidak membahas itu—akses masyarakat luas terhadap konten internet (yang di sana juga beredar beragam kajian Marxisme) lebih terbuka, fleksibel, dan berlimpah ketimbang buku-buku yang jumlahnya terbatas itu. Apalagi jika sumbernya berbahasa asing.
Jadi, tindakan melarang buku itu konyol, dilihat dari sisi mana pun dan layak untuk dicela!
Lagi pula, buat apa capek-capek melarang buku ini buku itu, ngurusi amat bacaan orang.
Mereka-mereka yang melarang juga belum tentu paham benar apa isi buku yang mereka benci. Terkadang, manusia tidak menyukai apa yang tidak mereka mengerti.
Di mana kaitannya dengan otoritas?
Begini, buku itu tidak anonim. Penulisnya jelas, isinya bisa dinilai oleh siapa pun.
Buku-buku “kiri” yang dilawan dengan razia dan pelarangan edar sejatinya adalah karya intelektual dengan nama penulis dan penerbit yang jelas.
Metodenya bisa digali, faktanya bisa diuji, referensi pembuatnya tentu ada di situ.
Dengan kata lain, setiap buku yang terbit adalah sesuatu yang bisa dan dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas.
Baik oleh penulisnya maupun oleh pembacanya.
Dari situ dia memiliki “kebenaran parsial” yang dimilikinya sendiri sampai ada kebenaran lain yang dapat diuji secara faktual menegasikannya (atau dianggap menegasikannya). Begitu cara ilmu berkembang dengan sederhana.
Mau dibaca atau tidak, itu terserah publik. Dari karya itu, penulis menyumbang gagasan alternatif.
Hanya karena berbeda dengan apa yang diyakini oleh penguasa dan hanya karena berbeda ide dari apa yang telah mapan hidup di dalam status-quo bukan berarti ide tersebut harus diberangus.
Ide harus dilawan dengan ide. Melawan suatu gagasan tentu memerlukan gagasan yang lebih baik jika ingin memenangkan hati publik.
Di situ diskursus bekerja membangun peradaban lewat dialektika pemikiran yang membangun dan berkelanjutan.
Melawan ide yang berbeda dengan razia dan pelarangan itu cara kotor orang naïf yang malas berpikir, tapi ingin membela keyakinan yang dia punya.
Kira-kira di situlah gagasan yang menjelma lewat buku memiliki otoritasnya untuk dirinya sendiri.
Otoritas demi keberadaan dirinya sendiri. Membangun buku adalah kerja-kerja intelektual. Begitu pun menyanggahnya, haruslah berupa hasil kerja intelektual jua.
Lalu apakah koran cetak memiliki otoritas sebagaimana buku fisik?
Kita biasa melihat koran ditumpuk, dibakar, dijadikan pembungkus, di-loakin dan semua terlihat normal. Koran mengandung informasi yang memiliki jangka waktu.
Kebergunaan informasi di dalamnya akan explayed pada titik tertentu. Namun itu bukan berarti koran tidak istimewa sama sekali.
Saya memiliki asumsi, hoaks dalam bentuk cetak jumlahnya lebih sedikit ketimbang hoaks digital.
Mengapa? Karena ada biaya di sana. Sementara jika dalam bentuk digital, apalagi hanya modal status medsos, biayanya sangat rendah.
Kominfo mencatat, pada tahun 2017, ada sekitar 800.000 situs penyebar hoaks. Apa yang bisa kita mengerti dari situ?
Pertama, hoaks digital berbiaya murah. Berbekal situs saja kita bisa menyebarkan informasi apa pun sesuka hati.
Kedua, informasi di internet bisa dibuat anonim. Dengan alat yang canggih, maka suatu informasi bisa disebar dan menyebar dengan cepat tanpa diketahui siapa yang bertanggung jawab atas itu.
Ketiga, desain situs yang tampilannya memiliki kosmetik serupa media massa resmi besar, membuat mereka punya kredibilitas bagi sebagian orang. Ini sisi yang sangat tricky.
Saya bicara begini bukan berarti berupaya untuk “mendeligitimasi” otoritas kebenaran yang dimuat oleh berita elektronik. Pada dasarnya, yang membedakan keduanya hanya medianya saja.
Sebagian besar kantor pers resmi yang memiliki media online tentu menyajikan beritanya dengan faktual.
Hanya karena banyak situs berita tidak jelas, bukan berarti sama sekali sinis dan pesimis dengan kemajuan zaman.
Hanya saja, poin saya di sini adalah bagaimaanpun koran cetak tidak akan mati dalam waktu dekat.
Proses pembuatan yang cermat, melalui meja redaksi yang lebih ketat ketimbang media online karena berhadapan dengan risiko ‘salah cetak’ yang bisa berujung pada ralat publik, kepentingan publik, upaya memikat calon pembaca, memelihara pelanggan, dan segmentasi pengiklan membuat media massa berbasis cetak memiliki prosedur yang ketat atas produknya. Setidaknya begitulah semestinya.
Media massa mendapat otoritasnya lewat kepercayaan publik. Kepercayaan itu bukan diberikan cuma-cuma, melainkan dipinjamkan.
Masyarakat dapat mengambilnya kapan pun ketika media tersebut berbuat curang dan mengorbankan kepentingan publik; menyampaikan kebenaran. (*)