Kita hidup di era Industri 4.0. Sebuah era di mana interkonektivitas, otomatisasi, pembelajaran mesin, dan real-time data menjadi landasan utama perekonomian.
Keempat landasan ini memerlukan satu kerangka yang sama.
Mereka memerlukan sebuah kerangka kerja yang interconnected dan mampu memberikan akses terhadap berbagai elemen dalam perekonomian (epicor.com, 2019).
Informasi yang terpercaya adalah salah satu elemen tersebut. Elemen informasi valid menjadi dasar pengambilan keputusan ekonomi yang rasional.
Tanpanya, produsen dalam Industri 4.0 tidak akan mampu mengetahui kebutuhan masyarakat. Akibatnya, mereka tidak akan menjadi disruptors yang mempermudah masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Lantas, bagaimana para pelaku Industri 4.0 mendapatkan informasi tersebut? Dari pers yang bebas (free press).
Sekarang, pers yang bebas tidak hanya bermain sebagai pilar demokrasi. Ia juga menjadi pilar perkembangan Industri 4.0 di negara kita.
Mengapa?
Pertama, Revolusi Industri 4.0 bersifat idea-intensive. Revolusi ini bersumber dari para disruptors yang mewujudkan buah pemikirannya.
Darimana buah pemikiran tersebut muncul?
Tidak mungkin disruptors mendapatkannya dari mimpi di siang bolong.
Mereka pasti mendapatkannya dari berbagai data dan gambaran realita, ditangkap secara tajam oleh pers yang independen dan bebas.
“Our riches were not made from piling brick upon brick, bachelor’s degree on bachelor’s degree, bank balance on bank balance. But by piling idea upon idea,” lantas Deirdre McCloskey.
Ide tersebut jelas bersumber dari pers yang bebas. Agen yang mensirkulasikan inspirasi konkret bagi disruptors.
Kedua, Industri 4.0 memerlukan media massa yang kuat untuk tumbuh subur.
Coba Anda bayangkan. Bagaimana nasib GO-JEK sekarang jika platform ini tidak menerima liputan pers yang luas?
Ia tidak akan menjadi unicorn seperti saat ini.
Kasus ini menunjukkan pentingnya peran pers yang bebas sebagai promotor disrupsi. Liputan pers membuat masyarakat ingin mencoba ide tersebut.
Ketika masyarakat ingin mencobanya, produk disrupsi tersebut mulai mempenetrasi kehidupan masyarakat.
Lantas, masyarakat pun menikmati manfaatnya. Munculnya manfaat tersebut membuat disrupsi ini makin menyebar.
Baik dari mulut ke mulut maupun testimoni pengguna di media massa. Akhirnya, disrupsi tersebut berhasil merambah kehidupan kita.
Ketiga, Industri 4.0 itu sendiri sudah merambah di media massa. Ternyata, Revolusi Industri 4.0 membuat media massa semakin individualized dan independen.
Citizen journalism menjadi bukti derasnya tren ini. Kini, penduduk awam bisa menjadi jurnalis “otodidak” melalui media sosial dan komunitas menulis.
Mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Kompasiana, dan lain sebagainya.
Citizen journalism mendorong konektivitas antar anggota masyarakat. Konektivitas ini mendorong persebaran informasi dan ide dalam masyarakat.
Peredaran keduanya adalah bahan dasar bagi para disruptors. Dampaknya, kemunculan disrupsi yang mendorong kekuatan Industri 4.0 semakin besar.
Penjelasan di atas menggambarkan sebuah hubungan yang berkesinambungan antara Industri 4.0 dengan kebebasan pers.
Kalau Industri 4.0 adalah mobil, maka kebebasan pers adalah bensinnya. Begitulah kira-kira hubungan tersebut.
Kebebasan pers adalah sumber daya gerak Industri 4.0. Ia menjadi bahan bakar yang meletupkan ide sebagai sumber energi disrupsi.
Energi disrupsi inilah yang mendorong Industri 4.0 untuk terus bergerak maju.
Tanpa kebebasan pers, kendaraan Industri 4.0 akan berhenti dan tidak mampu mengeksploitasi potensi yang dimilikinya.
Hubungan ini harus menjadi dasar kebijakan pemerintah terhadap Industri 4.0. Selain menciptakan economic framework yang mendorong inovasi, pemerintah juga perlu menumbuhkan kebebasan pers di masyarakat.
Pertumbuhan tersebut dapat diciptakan dengan mendorong partisipasi publik dalam mewujudkan kebebasan pers. Bagaimana caranya?
Pertama, jadikan pelatihan menulis bagian integral kurikulum pendidikan Indonesia. Selama ini, masalah literasi kita tidak hanya bersumber dari minimnya kemampuan membaca.
Ia juga bersumber dari minimnya kemampuan menulis di antara siswa sekolah. Jadi, kemampuan menulis harus dikembangkan melalui sistem pendidikan. Agar generasi penerus bangsa bisa menjadi kontributor kebebasan pers.
Menulis harus menjadi bagian dari setiap pelajaran yang suitable. Seperti sejarah, ekonomi, sosiologi, biologi, dan lain sebagainya.
Mengapa? Menulis memberikan skills yang diperlukan siswa untuk mewujudkan kebebasan pers.
Mulai dari kemampuan berpikir kritis sampai menyajikan solusi terhadap suatu masalah. Akhirnya, langkah ini menjamin kebermanfaatan kebebasan pers di masa depan.
Kedua, potong tarif PPh 23 alias “pajak penulis”. Bahkan, penulis sekaliber Tere Liye mengeluh soal PPh 23 yang terlalu tinggi (Aziz dalam tirto.id, 2017).
Inilah pertanda pemerintah harus mengurangi PPh 23.
Dari 15 persen atas jumlah royalti bruto menjadi 10 persen atas royalti netto yang diterima penulis.
Perubahan insentif ini dapat mendorong produktivitas penulis lama dan kemunculan penulis-penulis baru.
Terdorongnya jumlah dan produktivitas penulis mendorong jumlah karya tulis yang keluar. Semakin banyak karya tulis, semakin banyak ide dan informasi yang tersebar di masyarakat.
Terdorongnya sirkulasi ini pasti memperkuat kebebasan pers dan Industri 4.0 secara simultan.
Kedua solusi di atas adalah upaya untuk memperbanyak jumlah bensin kebebasan pers bagi kendaraan Industri 4.0.
Semakin banyak bensinnya, semakin kencang laju Industri 4.0 di negeri kita. Semakin kencang laju Industri 4.0, semakin dekat jarak kita dengan Indonesia Emas yang kita idam-idamkan.
Jadi, jangan sepelekan kebebasan pers. Ia tidak hanya menjadi pilar demokrasi politik.
Ia juga menjadi pilar kemajuan ekonomi kita. (*)