PROSUMUT – Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menyempatkan diri memantau jalannya pemungutan suara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1 A Tanjunggusta Medan, Rabu (17/4).
Dalam kesempatan itu, Gubsu meminta maaf atas minimnya jumlah partisipasi pemilih di Lapas tersebut.
Diketahui, Lapas Klas IA Tanjunggusta mengajukan sebanyak 1.434 warga binaan menjadi daftar pemilih tetap (DPT) ke KPU.
Namun timbul kejanggalan hanya sekitar 700 warga binaan yang dapat menggunakan hak pilihnya.
“Para saudara kita yang di dalam tahanan ini mereka punya hak, motivasi untuk memilih pemimpinnya. Saya minta maaf dan untuk ke depan harus kami pelajari dan diselesaikan,” kata Edy.
Dalam kunjungannya, Edy Rahmayadi juga sempat bersalaman dengan mantan Bupati Batubara OK Arya dan kemudian beranjak pergi meninggalkan Lapas bersama rombongan.
Sementara, Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Klas IA Tanjunggusta, Medan, Budi Argap Situngkir mengaku sangat kesal terkait jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang minim di Lapas yang ia pimpin.
Budi secara blak-blakan menyatakan, pihak Lapas sejak enam bulan lalu sudah berkutat masalah daftar pemilih tetap (DPT) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) sudah melakukan tupoksinya jemput bola hingga tengah malam merekam e-KTP di dalam penjara.
Permintaan Komisi Pemilihan Umun (KPU) yang menyatakan, narapidana/warga binaan harus memiliki nomor induk keluarga (NIK) pun sudah diusulkan.
“Keluar DPT dan DPTb sebanyak 1.434 orang. Ternyata pada saat pembagian A5, ada sekitar 600 orang tidak valid. Artinya, nama yang muncul bukan yang kami usulkan. Ada yang warga luar, dan data tahun 2017,” katanya.
“Ini yang membuat kami kecewa, sehingga dari jumlah warga binaan sebanyak 3.820, ya, kurang lebih hanya 700 yang punya hak pilih,” katanya.
“Jadi tidak valid, ini yang membuat kami sangat kecewa,” kesalnya lagi.
Budi pun berharap pihak KPU ke depannya bisa lebih baik lagi sehingga hak masyarakat khususnya warga binaan untuk memilih dapat terpenuhi.
“Mau sukses 10 persen, 20%, atau 100 persen pun ya biayanya tetap sama yang dikeluarkan negara, jadi kan sayang kalau pemilu ini tidak bisa kita sukseskan bersama,” tegas Budi.
Saat ditanya apa yang membuat hal itu terjadi, Budi tidak tahu dan bahkan bingung mengapa hal itu bisa terjadi. Apalagi di era teknologi seperti saat ini
“Apa sih sulitnya kalau hanya mendata saja. Namun faktanya malah kacau, masa bisa orangtua pegawai pun masuk daftar pemilih di sini padahal tidak pernah kita usulkan. Apa yang kami usulkan semua ada buktinya dengan apa yang dikeluarkan (KPU), ya kalau warga binaan itu bebas memang ada tapi itu pun hanya 20 an orang saja,” pungkas Budi. (*)