Prosumut
Kesehatan

BKKBN Tekankan Pentingnya 4T Atasi Masalah Stunting

PROSUMUT – Sekretaris Utama BKKBN RI Tavip Agus Rayanto menekankan pentingnya 4T dalam mengatasi masalah stunting.

Hal itu disampaikannya dalam Rakerda Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting di Hotel Santika Medan, Rabu 8 Februari 2023.

Dijelaskan Tavip, 4T adalah orang yang berpotensi bisa menyebabkan stunting. Pertama yaitu, terlalu muda menikah.
M. “Kalau terlalu muda menikah, anak yang dikandung atau dilahirkan bisa berpotensi stunting,” ujarnya.

Kedua, terlalu tua menikah. Ini juga tidak bagus dan berpotensi mengandung dan melahirkan anak stunting. Ketiga, terlalu dekat jarak kelahiran anak. Ini juga tidak bagus. Sedangkan keempat, terlalu banyak anak.

“Karena itu, 4T tersebut sangat penting dan harus dijaga betul. Kalau dulu dua anak cukup, maka sekarang dua anak lebih sehat,” sebut dia.

Ia menuturkan, di negara negara maju seperti China, Jepang, kebijakan KB sudah berubah karena tenaga kerja produktif yang minim. Sebab kebijakan KB berhasil, tetapi mencari tenaga kerja yang produktif masih sulit.

“Untuk itulah pentingnya menjaga keseimbangan penduduk, sehingga bonus demografi yang diperoleh Indonesia tidak lagi menjadi beban tetapi menjadi peluang. Dengan begitu, target 2045 generasi emas Indonesia dapat terwujud,” tutur Tavip.

Dia menyebutkan, ada beberapa langkah atau kebijakan dalam mewujudkan generasi emas Indonesia 2045. Pertama, pendataan keluarga terhadap orang yang berisiko stunting di mana saja?

Kedua, melaksanakan pendampingan baik kepada perempuan usia subur maupun calon pengantin perempuan. Sebab, perempuan usia subur berpotensi hamil tetapi kalau tidak menjaga secara baik maka akan menyumbang melahirkan anak yang stunting. Sedangkan calon pengantin, kami sudah MoU dengan Kementerian Agama untuk mengontrol status kesehatan mereka.

“Kebijakan kedua ini tidak menunda pernikahan, melainkan menunda kehamilan calon pengantin perempuan. Sebab hamil itu punya risiko yang tinggi, apalagi perempuan yang tidak sehat,” sebut Tavip.

Kebijakan ketiga, yaitu surveilans kasus stunting. Ini merupakan upaya memfasilitasi, pengawalan dan sebagainya. Keempat, yaitu audit stunting.

“Penyebab stunting itu ada tiga, gizi kronis, infeksi berulang dan pola asuh. Untuk pola asuh ini, tidak selalu terjadi pada keluarga miskin tetapi juga bisa ditemukan pada orang kaya. Artinya, ini bukan persoalan gizi tetapi masalah pengetahuan,” jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, tahun 2021 BKKBN diminta untuk mendata satu persatu keluarga seluruh penduduk di Indonesia. Jumlahnya, ada 68 juta lebih keluarga. Sementara tahun 2022, jumlahnya meningkat menjadi 70 juta lebih keluarga.

Dari jumlah ini, di Sumut jumlah keluarga yang ada dipilih menjadi keluarga sasaran. Artinya, keluarga yang punya anak 0-23 bulan.

Ini menjadi penting karena stunting mudah diobati yang belum lebih dari dua tahun. Kalau sudah dua tahun lebih, bisa tetapi sulit untuk kembali tidak stunting.

Kemudian, pasangan usia subur. Mereka ini berpotensi kalau menikah, bisa melahirkan anak stunting bisa tidak. Pasangan usia subur yang sedang hamil. Ini harus dikawal, karena kalau tidak, seperti tidak mendapatkan gizi, layanan kesehatan yang baik, maka bisa menyebabkan stunting.

“Selanjutnya, dicek juga punya jamban tidak? Air bersihnya ada tidak? Setelah itu, dicek lagi apakah sudah sesuai dengan 4T? Kalau tidak, maka berpotensi ke arah stunting,” paparnya.

Tavip menambahkan, di Sumut, ada 1.166.929 orang berisiko stunting. Namun, mereka ini belum tentu stunting tetapi perlu mendapat perhatian agar tidak menjadi stunting.

“Kalau jumlah ini dibagi kepada 33 kabupaten/kota dan menjadi prioritas penanganan stunting dengan menjalankan fungsi pencegahan dalam waktu pendek, maka harapannya pada 2024 angka stunting di Sumut bisa turun signifikan,” pungkasnya.

Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajekshah mengatakan, Sumatera Utara telah berhasil menurunkan angka stunting dari 25,8 persen di tahun 2021 menjadi 21,1 persen di akhir tahun 2022.

“Ini dari total dari semua Kabupaten/Kota di Sumut. Walaupun ada yang angkanya masih di atas 30 persen, dan terendag seperti di Labura yang sudah 7,3 persen,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.

Menurut Ijeck, masih adanya Kabupaten/Kota yang angkanya stuntingnya tinggi, karena belum semua masyarakat mendapatkan informasi bagaimana ciri-ciri anak stunting. Kemudian untuk calon pengantin diharapkan jangan sekedar hanya menikah saja, tetapi juga dinas terkait harus memberikan informasi dan setelah punya anak rutin dilakukan pemeriksaan.

“Sehingga kalau ada gejala stunting bisa kita langsung intervensi misalnya masalah gizi,” ujarnya.

Lalu untuk Kabupaten Labura yang angka stuntingnya turun signifikan, karena adanya komitmen dari Kepala Daerah. Karena stunting ini, terangnya, bukan hanya masalah gizi saja, tetapi juga soal sanitasi, air bersih dan lainnya.

“Mudah-mudahan tahun 2024 bisa (mencapai) 14 persen. Tapi itu harus dapat ditahan jangan naik lagi. Sehingga ekonomi masyarakat dapat meningkat begitu juga SDM unggul menuju tahun emas 2045,” tandasnya. (*)

Editor : M Idris

BACA JUGA:  Pemkab Langkat Masuk 5 Besar se-Indonesia Terkait Laporan Tercepat Intervensi Stunting

Konten Terkait

Dansat Brimob Kepri Cek Peralatan dan Perlengkapan KBR

Editor prosumut.com

Ciri Relawan Sejati! Yayasan Bitra Tawarkan Pusat Pelatihannya Jadi Tempat Karantina Covid-19

admin2@prosumut

Peserta Baru PBI BPJS Kesehatan di Medan Bertambah 11.000 Orang

Editor prosumut.com