PROSUMUT – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengungkapkan bahwa fraud atau kecurangan menjadi penyebab utama kebanyakan bank di Indonesia berguguran. Bukan karena ditinggal para nasabahnya seperti yang dominan terjadi di luar negeri.
Menurut Suwandi, Kepala Kantor Manajemen Strategis dan Perumusan Kebijakan LPS, kecurangan tersebut dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari nasabah hingga direksi bank itu sendiri.
“Hampir semua bank di Indonesia karakteristik kegagalannya berbeda dengan luar negeri. Di sana (bank) ditinggal nasabah, mungkin karena pelayanan dan produknya,” jelas dia di acara “LPS Media Workshop” di Hotel Horizon, Kuningan, Sabtu 27 Juli 2019.
Lebih detail, ia membeberkan, kecurangan umumnya terjadi pada penyusunan laporan keuangan. Secara struktur keuangan, bank yang sebenarnya sakit tersebut terlihat baik-baik saja, bahkan ada yang membukukan kenaikan pertumbuhan.
“Kalau kita lihat struktur keuangannya, ada yang datar atau bahkan naik, setelah diperiksa lebih dalam, laporan keuangannya tidak kredibel, misal banyak kredit macet, tapi ditulis lancar,” ungkapnya.
Akibatnya, lanjut Suwandi, capital adequacy ratio (CAR) bank tersebut langsung anjlok, hingga akhirnya tidak dapat mengembangkan pertumbuhan bisnisnya, lalu terpaksa ditutup.
Dia menjelaskan lagi, “Selama enggak ada suntikan baru, lama-lama (bank) tewas. Itu pola yang kerap terjadi di Indonesia.”
Asal tahu saja, sejak berdiri pada 2015 hingga saat ini, LPS telah menangani 98 bank. 97 di antaranya adalah bank perkreditan rakyat (BPR) yang pada akhirnya ditutup.
Suwandi pun mengungkapkan bahwa fraud yang terjadi pada BPR banyak berimbas dari kelemahan penerapan good corporate governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik.
“Kenapa ada fraud? Orang itu serakah, ada peluang, kebutuhan, eksposur semakin cepat, semakin (sering) orang lakukan fraud. Empat hal ini yang menurut saya jadi fokus pembenahan, khususnya (pada) BPR,” pungkasnya. (*)