Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)
PROSUMUT – Pada tahun 1973, dua orang penjahat ulung, Jan Erik Olsson dan Clark Olofsson melakukan perampokan bank Sveritges Kreditbank di Stockholm, Swedia.
Mereka menyerbu bank dan menyandera empat orang di dalam vault, disandera di dalam sebuah ruang penyimpanan uang selama 6 hari.
Sebagai layaknya sandera bagi penjahat ulung, pastilah mereka ketakutan atas perlakuan keras para penjahat selama negosiasi dengan pihak kepolisian yang mengepung TKP bank yang menjadi sasaran perampokan.
Anehnya, sebagai akibat traumatis para korban penyanderaan, bukannya membenci dan dendam kepada para pelaku penyanderaan, di akhir akhir masa penyanderaan mereka justru menunjukkan rasa empati kepada para penjahat.
Mengritik cara cara polisi melakukan aksinya dalam upaya meringkus kedua perampok bank dan membebaskan sandera.
Bahkan seorang sandera perempuan jatuh hati kepada seorang penjahat, menyatakan cintanya, sampai mereka bertunangan.
Kejadian ini menjadi ilham bagi produser yang mengangkat kisah ini menjadi cerita dalam sebuah film dan banyak film lain yang mengisahkan kejadian yang mirip mirip.
Reaksi psikologis yang ditandai dengan rasa simpatik dan kasih sayang yang muncul dari korban terhadap pelaku penyanderaan atau penculikan mereka oleh ahli psikologi disebut sebagai stockholm syndrome, diilhami oleh kejadian perampokan bank di Stockholm itu.
Trauma kekerasan berubah menjadi rasa empati dan kasih sayang.
Ternyata stockholm syndrome berlaku luas di beberapa kasus serupa, rasa empati dan sayang yang muncul di balik traumatik perlakuan kasar dan kejam di masa sebelumnya.
Bila stockholm syndrome yang dialami oleh korban penyanderaan perampokan bank di Stockholm, yang oleh beberapa ahli psikologi diteorikan sebagai mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh korban untuk melindungi dirinya dari ancaman, kejadian traumatis, konflik, serta berbagai perasaan stress.
Hal yang mirip terjadi pada pembentukan Kabinet Merah Putih di era pemerintahan Prabowo-Gibran, yang memberi ruang kepada para aktivis dan pejuang reformasi di masa orde baru untuk beraktivitas di medan yang berbeda secara ekstrim dengan menjadi anggota kabinet merah putih dengan alasan yang berbeda beda pula.
Tercatat beberapa aktivis dan pejuang reformasi yang mengalami tekanan represif di masa pra reformasi, pernah mengalami dinginnya sel sel tahanan di masa orde baru pra reformasi dan beberapa di antaranya adalah korban penculikan.
Kini, mereka membantu pemerintahan Presiden Prabowo yang pada saat masa pra reformasi itu justru mengejar ngejar para aktivis itu melalui Tim Mawar yang dikomandoi oleh beliau.
Mungkin fenomena ini masih relevan seperti apa yang dijelaskan oleh ahli psikologi mengenai stockholm syndrome yang populer di tahun tujuh puluhan itu.
Beberapa aktivis yang diburu buru oleh aparat keamanan di masa pra reformasi tercatat nama nama seperti Budiman Sujatmiko, kini menjabat Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan.
Kemudian, Faisol Reza sebagai Wakil Menteri Perindustrian, Mugianto sebagai Wakil Menteri Hak Azasi Manusia, Nezar Patria sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Agus Jabo Priyono sebagai Wakil Menteri Sosial.
Para aktivis pra reformasi ini sebelumnya mendirikan dan aktif dalam Partai Rakyat Demokratik dan aktivis organisasi Ikatan Orang Hilang.
Mereka berjuang untuk menegakkan hak azasi manusia dengan memperjuangkan masyarakat yang adil dan demokratis, kini berada pada jalur pemerintahan Prabowo-Gibran, bahkan duduk sebagai anggota Kabinet Merah Putih.
Terlepas dari niat, tujuan dan latar belakang dari masing masing aktivis kemanusiaan ini mengapa malah bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, pengalaman mereka di masa lalu setidaknya dapat menjadi acuan bekerja memperjuangkan keadilan, hak azasi manusia dan demokrasi di pemerintahan sekarang ini, dimana mereka tergabung menjadi penguasa negara.
Hal itu menjadi nilai plus tersendiri di samping prasangka negatif tentang berbalik arah jalur perjuangan yang mereka lakukan.
Itulah yang ditunggu oleh rakyat, apakah perjuangan mereka selama ini tetap dengan niat mulia yang sama seperti di masa masa mereka dikejar kejar saat berjuang demi kemanusiaan dan demokratisasi, di masa lalu.
Lagi pula, tepatlah ujaran agar jangan membalaskan kejahatan dengan kejahatan, tetapi doakanlah musuhmu.
Selamat berjuang di jalur yang berbeda. (*)
Editor: M Idris