PROSUMUT – Resesi kian mendekat, sejumlah negara lain sudah terjun ke jurang resesi. Sementara, Indonesia masih baru diperkirakan akan masuk dan sangat memungkinkan.
Karenanya, di tengah pandemi seperti yang sekarang ini peran pemerintah sangat besar dalam menyelamatkan ekonomi nasional ketimbang sektor swasta. Untuk itu, agar ekonomi mampu bertahan, program bantuan sosial menjadi kunci keberhasilan jika dihadapkan dengan penurunan daya beli.
“Namun, dari hasil evaluasi di pasar, program bantuan pangan masyarakat justru berpeluang memicu penambahan jumlah masyarakat miskin baru. Saya menemukan ada sejumlah pedagang yang justru mendapatkan tawaran barang dari masyarakat konsumen. Sejumlah pedagang menuturkan kalau mereka sering mendapatkan tawaran untuk membeli beras, mie instan atau bentuk sembako lain dari pembeli (konsumen) yang biasanya jadi langganan mereka,” ungkap pengamat ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin, Senin 27 Juli 2020.
Tawaran ini muncul setelah pelanggan mendapatkan program bantuan pangan. Karena jumlah berlebih, pelanggan tersebut menjualnya kembali ke pedagang.
“Inikan konyol sekali. Padahal, pedagang selama pandemi Covid-19 ini sulit untuk menjajakan barang dagangannya. Sebab, harus bersaing dengan paket bantuan pangan yang diberikan kepada masyarakat,” sambung Gunawan.
Alhasil, alih-alih mendapatkan keuntungan, para pedagang pengecer pun justru kehilangan pendapatan dan berpeluang masuk dalam garis kemiskinan. Jelas bantuan pangan tadi berpeluang menambah deratan panjang masyarakat miskin.
“Bantuan pangan tadi tidak membuat ekonomi di level UMKM (pedagang pengecer) bergerak,” cetusnya.
Menurut Gunawan, di tengah pandemi corona, kebijakan seperti ini sebuah kemunduran. Tidak akan banyak membantu masyarakat keluar dari resesi. Malahan, bantuan pangan ini juga rawan dikorupsi.
“Jadi, kalau pemerintah ingin ekonomi berputar, keluar dari jurang resesi, sudah sebaiknya kebijakan ini dihapus,” tegas dosen Universitas Islam Negeri Sumatera Utara ini.
Ia mengakui, memang saat sebelum Covid-19 kebijakan bantuan nontunai ini mampu membantu masyarakat miskin untuk mengkonsumsi kebutuhan pokok berkualitas. Namun, di tengah pandemi seperti sekarang, kebijakan nontunai justru memiliki sisi buruk yakni menambah jumlah mereka yang miskin.
“Di saat seperti ini, kita pada dasarnya berupaya agar ekonomi nasional mampu keluar dari resesi. Tetapi, yang menjadi perhitungan kita selanjutnya adalah kebijakan yang kita ambil justru kontra produktif dengan upaya keluar dari kemungkinan resesi itu sendiri. Masalah mendasarnya ada di situ,” ucap Gunawan.
Oleh sebab itu, tambahnya, jika pemerintah ingin keluar dari tekanan resesi dan ekonomi masyarakat bisa diputar serta mampu menjaga daya beli, maka mulai dari pusat hingga pemerintah di daerah atau perusahaan maupun intansi manapun sebaiknya menyalurkan bantuan dalam bentuk tunai. (*)