Oleh: Batara L. Tobing (Kolumnis Prosumut.com)
PROSUMUT – Gadis di Desa Polowijen ini terkenal paras ayunya di seantoro singasari. Ayahnya, Mpu Purwa, pendeta Budha Mahayana yang tinggal di desa itu, seringkali menyendiri selama berhari hari bertapa di hutan hutan Tumapel, sebagai seorang yang sakti mandraguna.
Ken Dedes, gadis ini memang kecantikannya tiada duanya. Itulah sebabnya saat mengunjungi Desa Polowijen, seorang akuwu (mungkin sekarang setara jabatan camat) di Tumapel “kesengsem” (dalam Bahasa Batak artinya cinta mallabab), tergila gila dan bersikeras ingin langsung meminang sang gadis untuk segera dinikahi dan diboyong ke Tumapel.
Sang gadis yang bersedia dinikahi, menginginkan agar mereka menunggu ayahnya pulang terlebih dahulu untuk meminta izin dan restu.
Dasar sudah tidak sabar, Tunggul Ametung sang akuwu langsung saja menculik Ken Dedes dan diboyong ke Tumapel, dijadikan istri.
Saat ayahanda sang gadis, Mpu Purwa pulang, terkejut marah atas peculikan putrinya, mengutuk penculik mati dibunuh oleh keris.
Penduduk desa yang terkena imbas dikutuk pula oleh mpu Purwo bahwa air yang mengalir di desa itu (sendang dedes) pun kering kerontang terkena kutukan juga.
Begitulah kehidupan Ken Dedes yang menjadi istri dari sang akuwu, mengalir apa adanya dengan pesona kecantikan yang menggiurkan bagi para pria di kerajaan Tumapel.
Pesonanya melumpuhkan akal sehat bagi pria di sekelilingnya, tidak terkecuali bagi Ken Arok yang menjadi body guard sang akuwu Tunggul Ametung yang begitu terpesona saat suatu momen diberi tugas mengawal piknik yang dilakukan oleh Ken Dedes ke Hutan Baboji.
Ken Arok sendiri yang mempunyai seorang guru, pendeta asal India bernama Lohgawe yang mempunyai daya terawang, menceritakan pesona Ken Dedes tersebut kepada gurunya itu.
Sang guru Lohgawe justru memberitahu hasil penerawangannya terhadap Ken Dedes, bahwa perempuan ini memiliki ciri seorang Stri Naricwari, ciri seseorang yang diramalkan akan menurunkan keturunan raja raja di tanah jawa.
Penjelasan yang membuat sang murid Ken Arok semakin bertekad memiliki Ken Dedes.
Disusunlah rencana kudeta terhadap junjungannya sendiri, yaitu Tunggul Ametung, tentu dengan tujuan utama memiliki istri sang junjungan, Ken Dedes.
Dengan menggunakan keris Mpu Gandring, seorang pakar pembuat keris, terbunuhlah Tunggul Ametung ditangan Ken Arok sendiri, sang pengawal dengan trik mengkambing hitamkan orang lain.
Kini dengan tanpa hambatan, Ken Arok berhasil memperistri Ken Dedes yang saat itu sedang mengandung putra Tunggul Ametung yang diberi nama Batara Anusapati.
Ken Arok sendiri, di samping sukses memperistri Ken Dedes, juga berhasil menggulingkan Raja Kediri Kertajaya yang selama ini menguasai Tumapel, memerdekaan Tumapel menjadi kerajaan baru di bawah kekuasaan Ken Arok.
Anusapati yang dilahirkan oleh Ken Dedes dari pernikahannya dengan suami sebelumnya, merasakan perlakuan berbeda dengan adik adiknya.
Barulah setelah dewasa mengetahui bahwa ayah kandung sebenarnya adalah Tunggul Ametung, memunculkan dendam baru kepada ayah tirinya Ken Arok..
Dendam yang semakin terakumulasi hari demi hari, membawanya kepada lanjutan karma yang menimpa Singosari. Dengan senjata keris pula, kelak di kemudian hari menjadikan Ken Arok tumbal keris Mpu Gandring melalui siasat yang diprakarsai Anusapati.
Begitulah Pararaton, kisah pustaka raja raja jawa berkisah tentang suksesi yang terjadi di bumi Singosari di tanah jawa.
Di kisah kisah Pararaton, tidak dikenal istilah demokrasi dalam kebiasaan suksesi kepemimpinan
Namun berabad abad kemudian, demokrasi menjadi acuan suksesi para raja, memberi ruang kepada kawula dan rakyat jelata memasrahkan mimpi untuk menjadi prabu.
Demokrasi yang mengizinkan setiap kawula dan rakyat jelata sekalipun menjadi raja, bahkan menjadi titian bagi seorang tukang kayu menjadi pemimpin.
Satu karma yang sulit dihilangkan, yaitu keinginan raja berkuasa mewariskan tahta turun temurun bagi keluarganya, bahkan di masa demokrasi.
Kekuasaan itu begitu memikat hati, kenikmatan yang diikhtiarkan lestari turun temurun bagi siapa pun jua. Ikhtiar mempertahankan kekuasaan yang lestari dengan menggunakan kekuasaan pula. (*)