Prosumut
Opini

Demokrasi Kepala Babi !

Oleh : Dr. Valdesz Junianto, Pemred Prosumut.com /Prosumut TV ; Dosen PTS di Medan

INSIDEN pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke Kantor Redaksi Tempo di Jakarta merupakan
bentuk intimidasi yang terang-terangan ditujukan kepada jurnalis dan media yang menjalankan fungsi
pengawasan terhadap kekuasaan.

Tindakan semacam ini bukan hanya sekadar teror fisik, tetapi juga simbol dari upaya membungkam kebebasan pers dan menghambat transparansi.

Intimidasi terhadap jurnalis bukanlah fenomena baru di Indonesia.

Kasus-kasus serupa telah terjadi berulang kali, mulai dari ancaman verbal, serangan fisik, hingga kriminalisasi terhadap jurnalis yang membongkar praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Peristiwa seperti penganiayaan jurnalis Radar Bali tahun 2019, serangan terhadap Narasi TV pada 2023, hingga pembunuhan Udin, wartawan Bernas pada 1996, menunjukkan betapa berisikonya profesi jurnalis investigatif di negeri ini.

Tindakan intimidasi semacam ini menunjukkan bahwa masih ada kelompok-kelompok tertentu yang merasa terganggu oleh kerja jurnalistik yang mengungkap kebusukan dalam birokrasi dan dunia bisnis.

Dalam teori kebebasan informasi sebagaimana yang dikemukakan oleh John Milton dalam “Areopagitica” (1644) dan John Stuart Mill dalam “On Liberty” (1859), kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi adalah hak fundamental dalam masyarakat demokratis.

Demokrasi yang sehat membutuhkan keterbukaan informasi agar publik dapat mengambil keputusan yang tepat dan tidak terjebak dalam manipulasi informasi dari pihak-pihak berkepentingan.

Teori Marketplace of Ideas yang dikembangkan oleh Oliver Wendell Holmes Jr. dalam putusan Abrams v. United States (1919) juga menguatkan gagasan bahwa informasi harus bersaing secara bebas dalam ruang publik.

Ketika ada upaya membungkam jurnalisme investigatif, itu berarti ada pihak yang berusaha mendominasi pasar gagasan dengan cara-cara yang tidak demokratis.

Di Indonesia, kebebasan pers dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali bertolak belakang.

Meskipun aturan hukum mengakui kebebasan pers, praktik tekanan terhadap jurnalis terus terjadi, baik oleh aktor negara maupun non-negara.

Dalam kacamata penulis, intimidasi terhadap jurnalis dan media seperti Tempo harus dilihat sebagai serangan terhadap kepentingan publik.

Jurnalis bukan sekadar pekerja media, tetapi juga pilar demokrasi yang memastikan kekuasaan berjalan dengan transparan dan akuntabel.

Di berbagai negara, jurnalis seringkali menghadapi ancaman serius yang menghambat kebebasan pers.

Dalam tragedi serangan terhadap jurnalis di Gaza, misalnya, Hossam Shabat dari Al Jazeera Mubasher dan Mohammed Mansour dari Palestine Today, tewas dalam serangan udara Israel.

Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mengecam tindakan ini, dan menegaskan bahwa jurnalis tidak boleh menjadi target dalam zona konflik.

Ada lagi tragedi pembunuhan Daphne Caruana Galizia di Malta.

Daphne, seorang jurnalis investigasi anti-korupsi, tewas akibat ledakan bom mobil dekat rumahnya.

Kasus ini menyoroti bahaya yang dihadapi jurnalis yang mengungkap korupsi tingkat tinggi.

Tindakan represif juga dialami pekerja media di Serbia.

Sejumlah media independen di Serbia menghadapi ancaman serius berupa pelecehan, kampanye pencemaran nama baik, dan serangan fisik terhadap jurnalis mereka.

Tekanan ini meningkat seiring ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Aleksandar Vučić yang semakin menciptakan lingkungan berbahaya bagi kebebasan pers.

Teranyar, tentulah penutupan US Agency for Global Media (USAGM) di AS.

Pemerintahan Trump memutuskan untuk menghentikan pendanaan USAGM, yang mengawasi Voice of America dan memberikan hibah kepada agen berita lainnya.

Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran bagi pekerja asing di media tersebut, yang berisiko menghadapi dampak serius, termasuk deportasi dan pemenjaraan jika dipulangkan ke negeri asal yang dikuasai rezim otoriter.

Menghadapi situasi serba mengkhawatirkan ini, media-media di Indonesia tidak boleh gentar dan kendor, tapi justru mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi jurnalis dan menjaga ekosistem kebebasan publik.

Media harus bersatu dalam menghadapi ancaman, berbagi informasi tentang intimidasi, dan mendukung satu sama lain.

Pelatihan kepada jurnalis tentang cara menghadapi situasi berbahaya harus diberikan, termasuk teknik keselamatan fisik dan digital, untuk meminimalkan risiko saat meliput berita sensitif.

Menjalin hubungan dengan organisasi seperti CPJ dan Reporters Without Borders juga dibutuhkan dalam mendapatkan dukungan, advokasi, dan perlindungan manakala muncul ancaman terhadap kebebasan pers.

Yang tidak kalah pentingnya adalah balik menekan aparat penegak hukum agar secara serius menangani kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis, dan memastikan pelaku dihukum sesuai hukum yang berlaku.

Kebebasan media adalah keniscayaan demokrasi yang membangunkan kesadaran publik mengenai peran vital jurnalis dalam membongkar sisi-sisi gelap mereka yang seringkali muncul di tempat tempat terang sembari mereguk nikmatnya tempat-tempat gelap.

Siapakah mereka? (*)

Editor : Val Vasco Venedict

Konten Terkait

Dilema Rokok dan Tembakau

Editor prosumut.com

Pahlawan dan Pandemi

Editor prosumut.com

Gas untuk Negeri

Editor prosumut.com

Ken Dedes

Editor prosumut.com

FDT Jangan Seperti Pepatah Melayu, ‘Buruk Rupa Cermin Dibelah’

Editor prosumut.com

Ngeri-ngeri Sedap Danantara

Editor prosumut.com
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara