PROSUMUT – Anggota DPR RI dr Sofyan Tan mengatakan ketika annyeonghaseyo salam khas Korea Selatan, menjadi lebih familiar di kalangan generasi muda dari pada salam horas yang punya makna sama, maka telah terjadi permasalahan serius dengan pola pendidikan kebudayaan di Indonesia.
“Kenapa annyeonghaseyo lebih sering dipakai anak-anak kita dibanding horas? Kenapa tidak sebaliknya?
Itu artinya ada masalah dengan pemajuan kebudayaan kita,” ungkap Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu saat memberikan sambutan dalam acara diskusi bertema Pendidikan yang Dibutuhkan Untuk Mendorong Pemajuan Kebudayaan di Sumatera Utara, di Hotel Grand Mercure, Medan, Sabtu 12 Oktober.
Sofyan Tan mengatakan harus ada konsep pendidikan yang dapat mendorong pemajuan kebudayaan diikuti dengan pembangun karakter bangsa.
Serta, memanfaatkan ruang-ruang publik yang ada saat ini sebagai wadah dan tempat berkebudayaan.
Mirisnya, dalam beberapa tahun belakangan, gedung-gedung kebudayaan yang ada di Medan dan Sumatera Utara belum dapat memfasilitasi para pelaku seni budaya untuk berkreasi karena persoalan kepemilikan.
“Kita punya Tapian Daya tapi saya lihat lebih banyak dijadikan tempat jualan. Kita punya Taman Budaya tapi bermasalah dengan hak kepemilikan. Ini harus dibenahi,” ujarnya.
Sofyan Tan menyebutkan dalam pendidikan yang mendorong pemajuan kebudayaan dibutuhkan konsep pendidikan yang inklusif dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi.
Tujuannya, agar terbangun karakter yang menghargai keberagaman dan perbedaan sesuai dengan kemajemukan dan keberagaman budaya Indonesia.
Hadir dalam acara Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid , Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II Sukronedi, dan narasumber Ketua Lembaga Penelitian USU Prof Dr Robert Sibarani MS serta peserta dari kalangan akademisi, guru dan mahasiswa.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid membenarkan apa yang disampaikan dr Sofyan Tan terkait massifnya infiltrasi kebudayaan Korea melalui drama korea (drakor) dan K-Pop telah membuat generasi muda lebih familiar dengan segala hal terkait dengan kebudayaan Korea.
Hilmar mengatakan, Indonesia dalam 10 tahun lalu sangat populer dengan makanan mi instan.
Lalu Korea melihat hal tersebut sebagai peluang pasar dengan menampilkan setiap film drakor pasti memiliki adegan makan mi sambil berdialog.
Hal itu terus dilakukan berulang-ulang dalam setiap drakor sehingga penonton tertarik untuk makan makanan khas korea.
“Sekarang dimana-mana sudah ada mi korea jadi makanan favorit,” ujarnya.
Dia pun teringat dengan salah satu acara di sebuah mal di Jakarta beberapa bulan lalu, yang memberikan ruang khusus untuk segala hal yang bernuansa Korea.
Selama beberapa hari berlangsung, acara tersebut selalu ramai pengunjung. Kesempatan itu dimanfaatkan menampilkan tarian-tarian tradisi Korea.
“Ini adalah sesuatu yang sudah didesain secara holistik, menyeluruh. Saling kait mengkait dalam mempromosikan karakter budaya Korea masuk ke Indonesia,” ungkapnya.
Hal ini yang belum dilakukan stakeholder kebudayaan di Indonesia. Belum ada keterkaitan antara satu produk kebudayaan dengan kreasi kebudayaan lainnya.
“Ini yang harus kita lakukan dengan mengoptimalkan ruang publik yang menjadi aset kebudayaan yang ada seperti taman budaya dan museum budaya,” ujarnya.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II Sumatera Utara Sukronedi menyampaikan sudah 4 tahun pentas seni budaya di Medan vakum tak berjalan.
Baru kali ini, hadir kembali dalam kegiatan Pesta Seni Medan yang dilakukan Konsorsium Seniman Medan (KSM) di Taman Budaya Medan.
“Alhamdulillah saat ini sudah berjalan. Saya lihat seniman-seniman kita budayawan kita menangis, karena sudah 4 tahun nggak jalan,” ungkapnya. (*)
Editor: M Idris