PROSUMUT – Setelah hampir tiga bulan menginap dan mendirikan posko di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Medan, sejumlah warga yang tidur bergantian menuntut gugatan 260 hektar tanah Sari Rejo akhirnya menarik diri dan pulang ke rumah masing-masing.
Warga kembali karena aktivitas Kantor BPN Medan telah pindah ke Jalan STM.
Ketua Formas Sari Rejo, Pahala Napitupulu mengatakan, warga pulang ke rumah masing-masing sudah beberapa hari. Keputusan untuk menarik diri dilakukan setelah melakukan pertemuan sebelumnya.
“Sudah beberapa hari kita sepakat agar jangan ada lagi tinggal di halaman Kantor BPN, karena aktifitas kantor sudah berpindah di gedung baru Jalan STM. Sementara, warga pulang dulu ke rumah masing-masing,” ujarnya, Sabtu 13 April 2019.
Kata dia, sebelumnya masyarakat Sari Rejo secara bergantian tidur bermalam di Kantor BPN Medan menunggu kejelasan status tanah. Warga yang menginap secara bergantian, mulai dari Lingkungan 1 sampai Lingkungan 9.
“Progres tanah sudah dibahas oleh Pemerintah Pusat melalui Kantor Staf Presiden (KSP), sehingga tidur di halaman kantor BPN (Medan) tidak efektif lagi dilakukan. Kita berterima kasih kepada DPRD Medan, DPRD Sumut karena sudah memperjuangkan hak kita sampai ke pusat dan saat ini sedang dibahas,” tuturnya.
Sebagai langkah selanjutnya, kata dia, pihaknya sudah bertemu dengan Deputi V KSP yang membawahi isu-isu hukum, pertahanan, keamanan dan HAM pada Senin 8 April 2019.
Dari pertemuan itu, diyakini progres mendapatkan hak atas tanah bisa diwujudkan dalam waktu satu atau dua tahun kedepan.
“Kita sudah bertemu (KSP), dan dibentuk tim yang terdiri dari Polri, TNI, Kemenhan dan BPN. Hasilnya, dijelaskan bahwa tidak ada siapapun yang bisa menguasai tanah Sari Rejo seluas 260 hektar selain warga,” akunya.
Namun demikian, sebut Pahala, warga khawatir apabila terjadi pergantian pemerintahan pasca Pemilu nanti. Sebab, akan mengaburkan perjuangan selama ini atas hak tanah yang ditempati sekarang. Apalagi, saat ini perjuangan mendapatkan sertifikat tanah sudah mendapatkan lampu hijau dari Pemerintah Pusat.
“Kekhawatiran tersebut didasari karena pengalaman berjuang selalu kandas saat pergantian pemerintah. Jadi, itu menjadi kekhawatiran kita. Kita sudah memenangi gugatan kasasi di MA tahun 1995. Bayangkan, sudah berapa kali kita memohon ke presiden berbeda dan saat ini progresnya sudah berjalan. Tapi, kita khawatir pemerintahan berganti lagi,” cetusnya.
Menurut Pahala, dengan adanya Pemilu tentu Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Joko Widodo tidak bisa mengeluarkan keputusan strategis.
“Kata KSP karena tahun ini proses demokrasi berlangsung, pemerintah tidak bisa mengeluarkan kebijakan yang sifatnya strategis dan vital. Apalagi untuk mengeluarkan sertifikat tanah warga, pemerintah harus terlebih dahulu melakukan penghapusan tanah yang selama ini merupakan aset negara,” jelasnya
Dia berharap, siapapun yang memimpin nantinya baik Prabowo Subianto ataupun Presiden Joko Widodo kembali, perjuangan warga Sari Rejo mendapatkan tanah bisa dikabulkan.
“Kita enggak mau begini-begini aja. Kita takut ketika pemimpin pemrintahan berganti, ternyata tak mengabulkan putusan MA yang menyatakan kita penguasa atas hak tanah,” tandasnya. (*)