PROSUMUT – Usai membacakan dakwaan, majelis hakim meminta penuntut umum menghadirkan saksi. Sebanyak 14 saksi dihadirkan dalam sidang di Ruang Cakra PN Binjai, Kamis 19 September 2019.
Sejumlah saksi membeberkan sistem kerja yang mirip seperti budak. Mereka digaji rendah tanpa jaminan kerja dan jaminan keselamatan.
Hal tersebut menjadi alasan mereka menolak santunan yang diberikan sebesar Rp25 juta per orangnya.
Majelis bertanya kepada lima saksi soal gaji, status, fasilitas keselamatan hingga besaran santunan yang diperoleh keluarga korban.
Pertanyaan majelis dijawab saksi dengan meneteskan air mata karena tak kuasa mengenang kejadian hebat yang menjadi duka nasional tersebut.
“Ada kami diajari memasang merakit mancis, kami diajari mandor. Gak ada pelatihan khusus merakit. Di pabrik itu, ada meja, tumpukan korek gas, racun api. Saya sebagai karyawan PT Kiat Unggul. Gak pernah ada SK PT Kiat Unggul. Lurah tahu, camat tahu ada pabrik, tapi izinnya saya gak tahu, Gajinya satu bulan Rp700, ada juga kerajinan Rp80 ribu dan intensif Rp 100 kalau lebih 25 tapak,” beber saksi Ayu dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Fauzul Hamdi.
“Korban meninggal semua, saya gak sanggup melihat mereka dikubur, Pak. Masih ingat nama-nama mereka 30 orang, termasuk lima anak-anak,” sambungnya dengan meneteskan air mata.
Selama bekerja di situ, diakuinya, pintu utama depan selalu ditutup dan dikunci. Menurutnya, cuma mandor yang bernama Lia, korban tewas dalam kebakaran yang tahu alasan ditutup.
Menurutnya, santunan sebesar Rp25 juta yang diberikan tak sesuai Perundang-undangan. Meski demikian, beberapa di antara korban ada yang menerima santunan tersebut.
“Cuma mandor aja yang ada BPJS Ketenagakerjaan. Saya karyawan borongan saja pak,” katanya.
Jam kerja mereka dari pukul 07.00 WIB hingga 16.30 WIB. Sistem kerjanya borongan.
“Yang saya kerjakan, kadang 25 tapak. Gaji rata rata Rp700-800 ribu. Kalau gak capai target dipotong, kalau ada gak masuk, gaji kami bisa dipotong. Tidak ada jaminan kerja dan jaminan keselamatan. Saya masuk kerja dari mandor, gak ada buat surat lamaran, cuma lisan saja dan dicatat di buku mandor. Kami semua 28 orang pekerja,” katanya.
Saksi Pipit membeberkan kalau sering terjadi korek gas meledak. Juga kadang-kadang bocor, dan yang terakhir ini menyambar gas serta cepat membakar pabrik rumahan.
Sri Kusmawati yang paling terpukul dan berderai air mata, wanita paruh baya ini kehilangan anaknya. Ia membeberkan, tidak ada musyawarah dengan pihak pabrik korek gas dalam memberikan santunan hilangnya nyawa senilai Rp25 juta.
Begitu pun, ia hanya bisa pasrah menerima santunan tanpa ada musyawarah terkait penentuan jumlah angka santunan.
“Mau bilang apa lagi pak. Kami pasrah, dan gak tahu mau gimana lagi. Soal santunan dengan jumlah Rp25 juta, enggak ada musyawarah sebelumnya soal angkanya. Saya kalau mau nuntut maunya anak saya hidup lagi tapi itu tak mungkin kan. Saya sudah terima mau gimana lagi,” katanya sembari mengusap matanya.
Majelis hakim pun mengarahkan tiga terdakwa memohon maaf kepada Sri Kusmawati. Tiga terdakwa pun memohon maaf dengan mencium tangan Sri Kusmawati.
Senada dengan saksi lainnya, Sarimin. Ia yang kehilangan anak istrinya dalam tragedi memilukan itu menolak santunan yang diberikan karena tidak ada musyawarah sebelumnya.
“Kami inginkan ya sesuai UU, kami belum terima santunan sama sekali,” ujarnya.
Sebelumnya, Kasi Pidum Kejari Binjai, Fahmi Jalil membacakan langsung dakwaan ketiga terdakwa yakni, Dirut PT Kiat Unggul Indramawan, Menejer Operasional Burhan dan Menejer Personalia/SDM Lismawarni. Ketiganya dijerat pasal berlapis. (*)

