Prosumut
Olahraga

Sepakbola Tanpa Filosofi ala Frank Lampard

PROSUMUT –  Seorang pelatih biasanya lekat dengan filosofi bermain tertentu. Filosofi permainan seorang pelatih akan tercerminkan pada permainan yang ditunjukkan timnya.

Juergen Klopp, misalnya, berhasil mengubah Liverpool menjadi kesebelasan yang dikenal mahir melakukan sepakbola pressing.

Klopp, sebelum ke Liverpool, memang sudah dikenal karena filosofi sepakbolanya yang familier disebut gegenpressing bersama Borussia Dortmund. Nyaris semua tim yang menghadapi Liverpool tak bisa berlama-lama dengan bola di lini pertahanan.

Tapi ternyata tidak semua pelatih lekat dengan filosofi permainan tertentu. Contohnya Frank Lampard. Meski pernah dilatih oleh pelatih-pelatih top seperti Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, Guus Hiddink, Felipe Scolari, atau Rafael Benitez, setelah berkarier jadi pelatih, Lampard tidak memilih gaya permainan pelatih tertentu di tim yang diasuhnya, termasuk Chelsea pada musim 2019/20 ini.

Filosofi sepakbola Lampard adalah sepakbola tanpa filosofi. Lampard tidak menekankan timnya bermain fokus dengan serangan, atau pertahanan, atau transisi, atau pressing, atau direct.

Ia akan menyesuaikan permainan anak asuhnya dengan permainan lawan. Maka bukan tak mungkin tim asuhan Lampard akan bermain dengan model permainan yang berbeda di setiap pertandingannya.

“Pertanyaan soal filosofi (permainan) adalah pertanyaan sulit,” kata Lampard pada laman resmi Chelsea.

“Setiap pelatih akan selalu ditanyai soal ini. Ini sering berkaitan dengan sepakbola menyerang, tapi itu jelas bukan sepakbola yang akan aku coba lakukan. Kami harus beradaptasi.”

Adaptasi permainan adalah sepakbola yang akan selalu dilakukan Lampard. Ia akan melatih timnya bermain dengan gaya bermain tertentu jelang timnya bermain menghadapi tim tertentu.

Apa yang terjadi pada latihan yang ia siapkan, itulah yang diharapkannya akan terjadi pada pertandingan. Tapi di atas itu semua, ia ingin timnya bermain dengan agresif dan berenergi, terlebih Chelsea mengandalkan banyak pemain muda.

“Ide besarku ada di cara kami berlatih. Aku ingin melatih cara bermain yang akan kami mainkan, untuk mereplikasinya (di pertandingan), meski aku juga pikir kita tidak bisa begitu saja mengaplikasikannya di pertandingan.”

“Aku ingin ada energi di timku. Aku ingin mengontrol bola karena kami punya pemain berkualitas yang mampu mengendalikan bola, tapi itu semua bukan untuk possession. Aku ingin menjadi tim yang menarik ditonton sehingga kami akan berusaha mengalirkan bola dengan cepat lalu menciptakan peluang.”

“Jadi kami juga harus jadi tim yang agresif. Kami harus jadi tim yang tidak disukai tim lawan karena kerja keras kami ketika tak menguasai bola, dan tidak disukai karena kami sangat bagus saat mengontrol bola. Anda selalu bisa mencoba lebih pada kedua aspek (bertahan dan menyerang) itu.”

Lewat gaya main seperti itu, Chelsea asuhan Lampard saat ini menempati posisi enam klasemen sementara Liga Primer Inggris.

Dari lima laga, The Blues menang dua kali, imbang dua kali, kalah sekali. Total 11 gol dicetak (terbanyak ketiga di Liga Primer) tapi kebobolan 11 kali juga.

Dari segi menyerang, Chelsea sudah mencatatkan 83 tembakan, terbanyak keempat setelah Manchester City (102), Liverpool (91), dan Watford (86). Sementara perihal pertahanan, Chelsea tercatat sebagai kesebelasan keempat paling sedikit mendapatkan tembakan dari lawan dengan 48 tembakan, di bawah Man City (31), Everton (42), dan Leicester City (46).

Jika melihat gol-gol Chelsea, mayoritas gol tercipta tanpa melalui proses yang “indah”. Meski 9 dari 11 gol lahir dari permainan terbuka, gol-gol Chelsea tak lepas dari kelebihan individu para pemainnya, khususnya Tammy Abraham dan Mason Mount.

Maka tak heran juga tak ada pemain Chelsea yang menonjol dari segi asis. Dari tujuh gol Abraham, empat di antaranya berasal dari asis Jorginho, Mateo Kovacic, Marcos Alonso, dan Cesar Azpilicueta, masing-masing satu asis. Hal ini tak seperti Man City, misalnya, di mana punya Kevin de Bruyne yang mencatatkan 5 asis atau David Silva dengan 4 asis.

Sepakbola adaptasi yang dipegang teguh Lampard ini memang akan membuat Chelsea bisa terlihat sangat superior, bisa juga inferior.

Semua itu tergantung pada kemampuan Lampard dalam menganalisis lawannya, menemukan kelebihan-kekurangan lawan, serta memanfaatkan kelebihan timnya dan mengatasi kekurangan timnya.

Hal itu juga yang membuat Chelsea menjadi tak terprediksi. Sejauh ini, Chelsea sempat kalah 0-4 dari Manchester United, diimbangi Leicester (1-1), menang telak atas Wolverhampton Wanderers (5-2), kemudian kalah 0-1 dari Valencia.

Chelsea akan menghadapi Liverpool pada pekan keenam Liga Primer Inggris 2019/20. Liverpool saat ini memuncaki klasemen sementara dengan menyapu bersih lima laga dengan lima kemenangan.

Tapi dengan sepakbola tanpa filosofi Lampard, catatan tersebut tak menjadikan Chelsea kerdil di hadapan Liverpool.

Chelsea asuhan Lampard sendiri pernah menghadapi Liverpool pada Piala Super Eropa 2019. Lampard membuktikan kehebatannya walau pada akhirnya gagal jadi juara. Imbang 2-2, Chelsea kalah lewat adu penalti.

Laga Chelsea vs Liverpool berikutnya akan berlangsung di Stamford Bridge pada Minggu (22/09). Pada pertemuan terakhir keduanya di Stamford Bridge, Liverpool juga nyaris tumbang dari Chelsea.

Unggul lebih dulu lewat gol Eden Hazard, Liverpool berhasil diselamatkan oleh gol Daniel Sturridge pada menit ke-89.

Liverpool juga baru saja menelan kekalahan dari Napoli di Liga Champions, menunjukkan bahwa mereka pun bisa dikalahkan. (*)

Konten Terkait

Prediksi Pertandingan Liga Jerman: Hertha Berlin vs Schalke 04

Pro Sumut

Oliveira Juara MotoGP Styria karena Motor Vinales Terbakar

Pro Sumut

Prediksi Pertandingan Belgia vs Islandia

Pro Sumut

Prediksi Pertandingan Liga Italia: Parma vs Spezia Calcio

Pro Sumut

Prediksi Pertandingan Liga Inggris: Chelsea vs Manchester City

Pro Sumut

Prediksi Pertandingan San Marino vs Hongaria – 29 Maret 2021

Pro Sumut
PROSUMUT
Inspirasi Sumatera Utara