PROSUMUT – Harga komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang terus melambung belum ditopang fundamental yang kuat. Meskipun, harganya saat ini hampir mendekati 2.700 ringgit per ton.
“Kalau bergantung kepada hubungan politik Malaysia-India, harga minyak mentah dunia, perang dagang, hingga pergerakan kurs mata uang, memang berimbas kepada harga CPO. Namun demikian, kerapkali berubah dan cenderung berfluktuasi secara liar. Jadi, CPO belum sepenuhnya ditopang oleh faktor fundamental yang kokoh,” kata pengamat ekonomi Sumut Gunawan Benjamin, Jumat 22 November 2019.
Menurut Gunawan, untuk menumbuhkan rasa optimis dari petani sawit maka yang paling masuk akal dan berkesinambungan adalah dengan menyerap sawit sebagai bahan baku yang komposisinya terus dinaikkan.
“Memang petani bisa berpatokan kepada konsumsi CPO tersebut sebagai landasan dalam melihat prospek bisnis sawit untuk jangka panjang. Bahkan, Indonesia di tahun depan akan mengkonsumsi CPO sebanyak 30 persen (B30) sebagai campuran bio diesel, sedangkan Malaysia baru akan menerapkan 20 persen (B20). Jadi, sentimen ini yang sebenarnya lebih menggambarkan apa yang akan terjadi pada bisnis sawit di tahun tahun yang akan datang,” ungkap dia.
Untuk itu, Gunawan berharap pemerintah serius untuk mengeksekusi kebijakan B30 tersebut. Perang dagang yang terjadi belakangan ini, justru menimbulkan ketidakpastian terhadap harga sawit.
“Harga CPO kerap naik turun tanpa arah yang jelas, jika mengikuti perkembangan perang dagang yang juga belum menemukan titik pasti kapan akan berakhir,” ucapnya.
Gunawan menambahkan, sentimen kenaikan harga minyak mentah dunia memang berpengaruh terhadap CPO.
Namun lagi-lagi harga minyak mentah ini adalah sentimen eksternal yang belakangan juga terus berubah-ubah.
“Belum lagi tren pergerakan mata uang ringgit disisi lain juga kerap berfluktuasi. Tidak bisa dipastikan mata uang negara Malaysia itu sebagai acuan dalam melihat prospek harga CPO dalam jangka panjang,” tukasnya. (*)