PROSUMUT – Tim Advokasi Amicus yang terdiri dari gabungan advokat dan menjadi bagian dari peradilan di Indonesia melalui perwakilannya Johan Imanuel, Indra Rusmi, Ricka Kartika Barus, Bunga Siagian, Arjana Bagaskara, Hema Anggiat Marojahan Simanjuntak, Idaman, Ika Arini Batubara, Novli Harahap, Joe Ricardo, Wendra Puji, Erwin Purnama, Fernando, Asep Dedi, Yogi Pajar Suprayogi, Intan Nur Rahmawanti, John SA Sidabutar, Irwan Lalegit, Denny Supari meminta kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung demi penegasan terhadap definisi penasihat hukum.
Permintaan itu disampaikan para Advokat kepada Ketua Mahkamah Agung lewat surat resmi yang dikirimkan, Senin 22 Juni 2020.
Anggota Tim Advokasi Amicus Johan Imanuel mengatakan, dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), terdapat pemisahan peran dan fungsi dari aparat penegak hukum dan juga lembaga yustisial, dimana aparat kepolisian hanya berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan (investigation), penuntut umum hanya berwenang melakukan penuntutan (prosecution) dan eksekusi putusan pemidanaan.
Lembaga pengadilan hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana (criminal verdict), lembaga pemasyarakan berwenang mengawasi proses berjalannya hukuman narapidana dan pembinaan, serta penasehat hukum/advokat hanya berwenang melakukan pendampingan pada semua tingkat pemeriksaan, memastikan hak-hak tersangka atau terdakwa tetap terpenuhi selama dalam proses pemeriksaan dan memberikan pembelaan di persidangan (defend the accused).
“Oleh karena itu, sudah seharusnya terdapat pembagian kewenangan antar penegak hukum secara sinkronisasi struktural, diferensiasi fungsional, dan payung hukum yang berbeda bertujuan agar terciptanya proses hukum yang adil (due process of law),” ujar Johan Imanuel dalam keterangan tertulis, Selasa 23 Juni 2020.
Johan menyebutkan, munculnya kasus oknum kepolisian melakukan tugas sebagai penasihat hukum dalam persidangan Novel Baswedan tidak hanya melanggar kewenangannya yang dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP).
Namun, lebih dari itu berpotensi menciderai proses terbangunnya sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) dan melangkahi kewenangan penasihat hukum/Advokat untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya untuk memberikan pembelaan yang maksimal kepada terdakwa berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat juncto 69-74 KUHAP.
“Sebab memberikan pembelaan terhadap terdakwa itu sepenuhnya tugas advokat seperti yang diatur dalam Undang-Undang,” tegasnya.
Dikatakannya, demi mewujudkan kepemimpinan hukum yang berwibawa dan memperbaiki budaya hukum saat ini sebagai prasyarat efektivitas penegak hukum demi mewujudkan kemampuan mengungkap dan membuktikan perbuatan melawan hukum yang diproses secara transparan dan akuntabel serta kemampuan untuk mengungkap setiap penyalahgunaan kekuasaan dalam proses penegakan hukum itu sendiri.
Maka, majelis hakim harus memandang kedudukan profesi seperti profesi advokat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, termasuk melekat kepada penasihat hukum yang ditugaskan oleh Polri tanpa kecuali.
“Karena itu kami meminta hal seperti ini tidak terulang lagi kedepan, sehingga Peraturan Mahkamah Agung (Perma) harus diterbitkan guna mempertegas tatanan dan fungsi yang jelas antara unsur penegak hukum sebagaimana kami jabarkan di atas. Masing-masing telah diangkat dan disumpah sesuai profesi masing-masing, alangkah baiknya mandat dan sumpah profesi tersebut dijalankan sebagaimana mestinya,” kata Johan.
Ditambahkannya, Perma tersebut juga harus menerangkan bahwa advokat yang sah secara Undang-Undang Advokat adalah yang telah terverifikasi sebagai Anggota Organisasi Advokat dan Mempunyai Berita Acara Sumpah berdasarkan peraturan hukum yang berlaku dalam semua lingkup peradilan.
“Karena itu kami menunggu respon baik dari Ketua Mahkamah Agung guna memberikan kepastian hukum,” tukas Johan. (*)