Jalan Prabowo membentuk kabinet gemuk terbuka lewat revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang disahkan pada 19 September 2024.
Sebelumnya, pasal 15 UU 39/2008 hanya memungkinkan presiden memiliki maksimal 34 kementerian demi reformasi birokrasi.
Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan melebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan berkurang.
Namun menurut naskah akademik yang diunggah Badan Legislasi (Baleg) DPR, ketentuan soal 34 kementerian itu dianggap “menyulitkan pemerintah mengoptimalkan kinerjanya guna mewujudkan tujuan negara yang dicita-citakan”.
“Padahal pembentukan UU Kementerian Negara sama sekali dimaksudkan bukan untuk mengurangi apalagi menghilangkan hak prerogatif Presiden dalam menyusun kementerian negara,” bunyi naskah akademik tersebut.
Baleg DPR dan pemerintah hanya butuh waktu kurang dari delapan jam untuk membahas revisi UU tersebut untuk dibawa ke rapat paripurna. Padahal, revisi UU ini tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Saat itu, analis politik menyebutnya sebagai pembuka jalan bagi “kabinet jumbo” Prabowo karena tak ada lagi batasan jumlah kementerian.
Kini setelah dia dilantik, prediksi tersebut terbukti benar.
Setelah melihat komposisinya, pengamat kebijakan publik UI, Lina Mifthahul Jannah mempertanyakan dasar kajian dan evaluasi kinerja yang membuat banyak kementerian dipecah.
“Kementerian PUPR misalnya, selama ini kan ada direktorat jenderal masing-masing untuk pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Kalau ada yang tidak berjalan, yang dijewer seharusnya direktorat jenderal yang tidak melakukan [tugasnya] itu,” tutur Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia, Lina Mifthahul Jannah.
“Atau jangan-jangan karena orientasi pekerjaan dulu adalah pekerjaan umum, bukan perumahan rakyat? Itu yang seharusnya dievaluasi.”
Kabinet gemuk tak cuma berdampak di level pusat, kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman.
Ini akan menambah kebingungan pemerintah daerah soal program kerja dan regulasi.
“Sering sekali teman-teman di daerah bertanya, ‘Orang tua kami di pemerintah pusat itu siapa?’ Kementerian
Dalam Negeri atau kementerian sektoral?’ Karena yang dilakukan oleh kementerian teknis itu sering sekali tumpang tindih,” ujar Herman.
Ditambah lagi soal ego sektoral yang masih kerap muncul antar-kementerian/lembaga.
Dia mencontohkan soal perizinan berusaha yang diintegrasikan ke dalam satu platform sesuai amanat Undang-Undang Cipta Kerja.
Namun nyatanya, aturan itu membuka peluang setiap kementerian punya sistem sendiri sehingga menyulitkan integrasi sistem perizinan.
KPPOD berharap kabinet yang baru ini, walau gemuk, dapat lebih selaras.
Dia juga mewanti-wanti agar pemerintah daerah tidak mengadopsi secara gamblang postur pemerintahan yang gemuk ini.
“Jangan sampai ini menimbulkan bebas fiskal ke daerah,” kata Herman.
Sejarah mencatat, kabinet anyar yang diumumkan Prabowo Subianto adalah yang tergemuk selama era Reformasi dan Orde Baru.
Berdasarkan data yang dirilis Sekretariat Kabinet, jumlah menteri kabinet sejak masa Presiden B.J. Habibie sampai Jokowi tak pernah lebih dari 40 kementerian.
Sebelum Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran, rekor menteri terbanyak ada pada pemerintahan Presiden B.J. Habibie sebanyak 37 menteri.
Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki menteri paling sedikit sepanjang era Reformasi, yakni 33 menteri pada periode 2001-2004. (*)
Editor: Val Vasco Venedict / BBC Indonesia