Oleh : Abyadi Siregar
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut
(Ditulis untuk Prosumut.com)
+++
KALAU boleh jujur, terus terang, hari-hari terakhir ini saya sangat menunggu ada aksi masyarakat miskin Indonesia mengajukan gugatan hukum kepada Menteri Sosial (Mensos) RI.
Gugatan hukum dari mereka warga miskin yang tidak masuk dalam Base Data Terpadu (BDT) Program Penanganan Fakir Miskin (PPFM) yang ditetapkan Mensos.
Karena akibatnya, mereka tidak pernah menerima beragam bentuk bantuan pemerintah untuk warga miskin yang selama ini banyak dikucurkan.
Tentu bukan untuk membuat kegaduhan hukum di tengah negeri ini yang sedang kalangkabut melawan pandemi wabah virus corona deseas (Covid)-19.
Tapi, paling tidak, perlawanan hukum ini untuk “membangunkan” pemerintah (Kemensos khususnya) dari “tidur panjangnya” yang selama ini kurang begitu baik melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, yakni mengurus masyarakat miskin yang menurut data BPS Maret 2019, jumlah penduduk miskin mencapai 25,14 juta jiwa atau sekitar 9,82 persen.
Sehingga, akibat kelalaian pemerintah, khususnya Kemensos itu, sekarang ini begitu banyak penduduk miskin yang linglung mempertahankan hidup.
Ironisnya, mereka tau persis begitu banyak program pemerintah yang diperuntukkan buat masyarakat miskin seperti mereka.
Mulai dari bantuan sosial (bansos), Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan untuk sektor pendidikan, dan banyak lagi jenis bantuan lainnya.
Dan, saat ini, di tengah situasi pandemi Covid-19 ini, berbagai bentuk program untuk membantu warga miskin itu pun terus diluncurkan yang kemas dalam program jaring pengaman sosial.
Tetapi, lewat berita-berita yang dilansir berbagai media, kita melihat begitu banyak warga miskin yang tidak mendapatkan bantuan.
Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia, tidak sedikit pembagian bantuan sosial yang diwarnai keributan akibat banyak warga miskin yang tidak dapat.
Mereka marah karena mereka tidak dapat. Sementara mereka mengetahui persis, bahwa di antara warga yang menerima, justru ada yang ekonominya lebih layak dari mereka dan tidak pantas menerima bantuan miskin.
Ketidakberesan Data
Kegagapan pemerintah dalam mendistribusikan beragam bantuan sosial untuk masyarakat miskin ini, sebetulnya sudah sejak lama.
Hanya saja, akhir akhir ini menjadi perhatian banyak pihak karena di tengah pandemi wabah Covid-19.
Banyak warga yang tertekan secara ekonomi sebagai dampak covid-19.
Saya sendiri sebetulnya tidak kaget dengan kegagapan pemerintah itu. Karena kondisi seperti ini, sebetulnya sudah sejak lama.
Semua ini terjadi akibat ketidakberesan Base Data Terpadu (BDT) Program Penanganan Fakir Miskin (PPFM) yang dimiliki Kemensos. Kemensos tidak memiliki data yang valid tentang berapa sebetulnya warga miskin Indonesia.
Padahal, bila mengacu kepada UU Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (FKM), demikian jelas diatur bagaimana kewenangan Kemensos dalam menangani masyarakat miskin.
Kewenangan Kemensos diawali dari penetapan kriteria fakir miskin sebagai dasar penanganan masyarakat miskin. Dalam melakukan penetapan kriteria fakir miskin, Kemensos berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.
Kriteria itulah yang kemudian yang menjadi acuan bagi pihak yang melakukan pendataan (Badan Pusat Statistik-BPS) dalam melakukan pendataan orang miskin.
Hasil pendataan tersebut, kemudian diverifikasi dan divalidasi. Sesuai pasal 8 ayat (4), verifikasi dan validasi data tersebut merupakan kewenangan menteri (dalam hal ini Mensos), dengan memberdayakan potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan atau desa.
Selanjutnya, hasil verifikasi dan validasi data masyarakat miskin itu, diserahkan kepada bupati/walikota dan gubernur untuk selanjutnya diserahkan kepada Mensos.
Pada ayat 5 begitu tegas disebutkan, bahwa verifikasi dan validasi data tersebut, dilakukan secara berkala sekurang kurangnya satu kali dalam dua tahun.
Ini artinya, dalam setiap dua tahun, harus dilakukan kembali verifikasi dan validasi data base terpadu yang menjadi data masyarakat miskin di Indonesia.
Sebetulnya, verifikasi dan validasi inilah yang tidak dilakukan selama ini dengan baik dan benar. Tidak heran bila data masyarakat miskin tidak pernah berubah dari tahun ke tahun.
Padahal, bisa saja ada warga yang awalnya masuk dalam katagori miskin, tapi setahun kemudian ekonominya sudah membaik dan tidak layak lagi mendapatkan bantuan sosial.
Begitu juga sebaliknya. Yang sebelumnya tidak masuk sebagai warga miskin, tapi setahun kemudian mengalami ekonomi susah sehingga masuk dalam katagori warga miskin.
Tapi, data inilah yang tidak pernah diverifikasi dan divalidasi ulang.
Seringnya aksi protes warga miskin terhadap distribusi bantuan sosial, menjadi bukti kuat bahwa verifikasi dan validasi data tersebut tidak dilakukan dengan benar.
Atau jangan jangan tidak pernah dilakukan selama ini. Atau mungkin saja dilaksanakan, tapi tidak sesuai dengan ketentuan. Pendataan dilakukan dengan faktor kedekatan.
Inilah yang membuat masyarakat miskin “berteriak”. Mereka protes, diperlakukan tidak adil. Hak mereka diberikan kepada yang tidak berhak.
Itulah sebabnya, di awal tulisan ini saya mengatakan, menunggu adanya gugatan masyarakat miskin kepada Mensos, Gubernur atau Bupati walikota.
Tujuannya, agar para pejabat yang berwenang itu, sadar atas kelalaian mereka.
Semoga. Kita tunggu…! (*)