Oleh : Affan Bey Hutasuhut
Penulis adalah Wartawan Majalah TEMPO (1987-1994), Kolumnis Tetap Prosumut.com
×××
LEMBARAN sejarah tak bisa dirobek. Makanya jejak kelam para pemimpin dunia dan siapapun yang perangainya kejam, brutal dan dan tidak memiliki toleransi terhadap ras lainnya akan selalu diingat dan dicerca oleh khalayak ramai.
Sayangnya sikap rasis yang berbahaya ini masih saja berulang, berulang, seakan tak pernah lapuk di makan zaman.
Rohingya minoritas etnis Muslim di Myanmar yang tinggal di Negara Bagian Rakhine Myanmar hingga kini masih menjadi warga kelas teri. Dan karenanya umat beragama Islam ini berkali-kali dibantai oleh militer dan kelompok masyarakat sipil Myanmar.
Setiap kali terjadi kudeta di sejumlah negara di Afrika akan selalu diiringi dengan perang antara suku yang berkuasa dengan suku seterunya. Perang saudara begitu menyayat hati karena selalu melibatkan tentara anak-anak yang ditempa menjadi beringas hingga tega membunuh saudara kandung sendiri.
Warga dunia masih mengingat kekejaman Hitler yang merasa etnis Arya sebagai superioritas dan yang lainnya kelas kambing. Ketika invasi Pemimpin Jerman merambah dan menguasai sejumlah negara di Eropa tahun 1940-an, sedikitnya 5 juta orang Yahudi tewas dibantai diberondong peluru, di kamar gas, dan beragam cara siksaan lainnya.
Kaisar Nero yang memimpin kerajaan Romawi tak kalah buas. Jangankan ibu kandungnya dan isterinya, ribuan umat kristiani tewas disiksa sampai mati dengan alasan telah membakar kota Roma. Padahal menurut para sejarawan, Kaisar sendiri yang membakarnya agar bisa membangun istana yang jauh lebih mewah.
Negara jiran Malaysia pernah mengalami perang antar etnis Melayu dan Tionghoa tahun 1969 lalu. Banyak korban jatuh dalam tragedi berdarah akibat dampak dari “Pilihan Raya Umum 10 Mei 1969.
Upin Ipin
‘Pil pahit’ tersebut agaknya masih melukai masyarakat negeri jiran ini. Makanya dengan beredarnya film serial kartun Upin Ipin pertama kali tayang pada 14 September 2007 di Malaysia dan disiarkan di TV9 , begitu pesat populeritasnya. Termasuk di Indonesia yang ditgayangkan pertama kali oleh MNC TV pada tahun 2008 lalu
Bagi sebagian penikmatnya boleh jadi serial Upin Ipin menghibur lantaran tidak hanya kocak dan menggemaskan, Upin Ipin yang dikenal dengan ucapannya, ‘betul betul’, dan kawannya sekampung tersebut sarat menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai edukatif.
Cerita Upin Ipin senantiasa menggambarkan kejadian sehari-hari membuat serial ini digemari, benar adanya.
Namun dibalik itu masih terkandung mutiara yang kaya dengan pesan pentingnya toleransi dalam kehidupan ini.
Sebagai anak Melayu yang identik dengan Muslim, Upin ipin, Mail, Ehsan, dan teman bermainnya yang seiman selalu aktif dalam beribadah salat, belajar mengaji, berpuasa, berhari raya, dan lainnya.
Meski demikan, bocah kembar ini taat kepada petuah opahnya yang harus hidup rukun bersama temannya bermain yang terdiri dari turunan beragam bangsa dan suku. Makanya Upin Ipin tidak merasa asing hidup berdampingan dengan temannya yang memiliki ritual dan budaya masing.
Begitu pula dengan teman-temannya serta semua warga kampung Durian runtuh.
Jarjit. Seorang aanak turunan India Punjab. Bocah yang kerap melontarkan ‘marvelous’ begitu melihat hal yang menarik, juga gemar dengan budaya pantun melayu. Ia selalu mebuka pantunyanya dengan ucapan, dua tiga”.
Mei Mei salah satu teman perempuan Upin dan Ipin. berasal dari keturunan Tionghoa dan beragama Konghucu. Meskipun beda agama, namun Mei Mei sering mengingatkan teman-temannya untuk tidak malas berpuasa.
Susanti yang berasal dari Indonesia. Ia anak baru tinggal di Malsyai dan karenanya belum lancar berbahasa Melayu. Tidak ada yang mengolok-oloknya seperti halnya presiden Jokowi yang dinilai sebagian orang di negeri ini masih tertatih-tatih aksen bahasa Inggirisnya.
Begitu pula dengan paman Ahtong. Pedagang Cina dan pengepul ini ditampilkan oleh sutradara selalu berbicara dengan dialek China yang kental. Gak ada masalah, bahkan termasuk saat Ah Tong membuat pagelaran budaya Tionghoa di panggung terbuka di kampung Durian Runtuh, tempat Upin Ipin bermukim. Ramai penonton dari puak Melayu, termasuk Opah dan cucunya Kak Ros, Upin Ipin.
Upin-Ipin dan kawan-kawan belajar di TK Tadika Mesra. Ketika terjadi pergantian guru atau Cikgu Jasmin yang memakai jilbab dengan Cikgu Melati yang tidak memakai jilbab, tak ada kegaduhan atau protes orang tua murid.
Mail teman Upin dan Ipin yang paling rajin membantu keuangan orang tuanya. Sepulang dari sekolah, anak ini rajin mengais rezeki apa saja, seperti menjual ayam goreng, hingga jagung bakar. “Dua seringgit dua seringgit” untuk menawarkan jualannya. Tak ada seorang pun yang merendahkan dirinya.
Dengan beredarnya secara luas serial kartun Upin Ini, diharapkan akan menjadi pelajaran berharga, khususnya anak-anak sebagai generasi penerus untuk memaknai toleransi dalam kehidupan sehari-hari, bertetangga, hingga kehidupan berbangsa.
Ini penting supaya kelak tak lagi berulang kasus pembantaian Rohingnya, peristiwa kekerasan seperti yang terjadi ditanah air pada tahun 1998, dan lainnya. (°)
Editor: Val Vasco Venedict