PROSUMUT – Komisi A DPRD Sumut meminta Kementerian BUMN untuk memberi kemudahan bagi kelompok masyarakat tidak mampu memiliki lahan eks HGU PTPN II yang telah hapusbuku.
Kemudahan dimaksud antara lain meringankan pembayaran lahan eks HGU PTPN II yang selama ini diprotes oleh kelompok masyarakat tidak mampu.
Anggota Komisi A DPRD Sumut Irham Buana Nasution menyatakan, pihaknya sudah memohonkan keringanan pembayaran lahan eks HGU PTPN II yang telah hapusbuku ini kepada Kementerian BUMN.
Menurut Irham, sudah sewajarnya kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu ini mendapat keringanan agar bisa secepatnya mendapatkan tanah eks HGU yang telah mereka perjuangkan selama bertahun-tahun.
“Keringanan membayar lahan eks HGU PTPN II yang telah hapusbuku ini harus segera direalisasikan oleh Kementerian BUMN, agar tanah-tanah yang selama ini dikelola oleh kelompok masyarakat tidak jatuh kepada pihak ketiga akibat tidak sanggup bayar karena kemahalan,” ujar Irham kepada wartawan baru-baru ini.
Dikatakan Irham, saat ini ada sekitar 20 persen dari total 5.873 hektar lahan eks HGU PTPN II yang telah hapusbuku dimiliki oleh kelompok masyarakat tidak mampu.
Karenanya, lahan masyarakat ini harus diproteksi dengan memberi kemudahan bagi mereka untuk memiliki tanah tersebut.
“Kami di DPRD (Sumut) akan berupaya maksimal memperjuangkan agar hak masyarakat atas tanah eks HGU ini tidak hilang,” ucap Irham sembari menegaskan persoalan tanah eks HGU PTPN II ini menjadi agenda prioritas DPRD Sumut sejak dilantik 16 September 2019 lalu.
Irham menyebutkan, sudah beberapa kali memanggil PTPN II, Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta kelompok-kelompok masyarakat termasuk Ormas untuk membahas penyelesaian lahan eks HGU ini.
Ia pun optimis permasalahan ini bisa segera diselesaikan tanpa ada yang dirugikan, termasuk kelompok masyarakat.
“Kita minta semua bersabar, DPRD (Sumut) akan terus mengawal penyelesaian tanah yang menjadi hajat hidup orang banyak,” tegas mantan Ketua KPU Sumut ini.
Sebelumnya, diketahui belum lama ini Kanwil BPN Sumut mengumumkan 5.873 hektar lahan eks HGU PTPN II yang telah dihapusbuku oleh Kementerian BUMN akan dibagi secara bertahap.
Tahap pertama akan dibagikan 2.216 hektar dengan syarat penerima lahan diwajibkan membayar sesuai harga yang telah ditetapkan Kantor Jasa Penilai Publik (KJJP).
Ketua Lembaga Pemulihan Hak-hak Tanah Rakyat (LPHTR), Kamisan Ginting mengatakan, pihaknya telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Menteri BUMN Erick Tohir mengkaji ulang pembayaran lahan eks HGU PTPN II yang telah hapusbuku.
Menurut Kamisan, kebijakan ini tidak adil karena masyarakat diminta untuk membayar lahannya sendiri yang masuk dalam daftar nominatif penghapusbukuan eks HGU PTPN II.
“Kita minta kebijakan untuk membayar lahan eks HGU PTPN II yang telah hapusbuku ini ditinjau ulang,” kata Kamisan sembari menambahkan PTPN II perlu mencontoh kebijakan manajemen PTPN V yang telah mengembalikan lahan seluas 2.800 hektar kepada warga desa Senama Nenek di Kabupaten Kampar, Riau tanpa harus membayar.
Kamisan menyatakan, tanah eks HGU adalah tanah negara yang perlu dibayar adalah tanaman, barang dan benda apabila lahan masih dikuasai bekas pemegang hak, seperti yang tertera dalam PP 40 Tahun 1996 pasal 18 dan Permen ATR 7 Tahun 2017 pasal 54. Ia juga menyatakan, permasalahan lahan eks HGU PTPN II ini rawan praktik korupsi.
Dugaan korupsi ini bisa terjadi karena disebut adanya keharusan membayar tanah eks HGU yang sudah berstatus tanah negara ke kas PTPN II.
Sebagaimana diberitakan, baru-baru ini 6 warga Sumut melalui kuasa hukum Hamdani Harahap dan kawan-kawan melaporkan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, mantan Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi, mantan Kakanwil BPN Sumut Bambang Priono, Direktur Utama PTPN II Mohammad Abdul Ghani, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis 13 Februari 2020.
Para pejabat ini dilaporkan oleh keenam warga Sumut masing-masing Saharuddin, Sahat Simatupang, Muhammad Arief Tampubolon, Timbul Manurung, Lomlom Suwondo dan Burhanuddin Rajagukguk atas dugaan korupsi dan atau gratifikasi dan perdagangan kekuasaan untuk kepentingan masing-masing atas penerbitan Surat Perintah Pembayaran (SPP) lahan eks HGU PTPN II.
Hamdani Harahap mengatakan, PTPN II tidak memiliki dasar hukum menjual 2.016 hektar lahan eks HGU karena objek tanahnya sudah tidak berkekuatan hukum sebagai aset PTPN II, apalagi sampai menerima uang dari pembayaran tanah lewat mekanisme penerbitan surat perintah pembayaran ke rekening PTPN II.
Dia menyatakan surat perintah pembayaran tanah eks HGU yang dijadikan dasar jual beli lahan eks HGU PTPN II adalah perbuatan melawan hukum yang berpotensi menguntungkan pribadi para pihak terlapor yang nilainya kurang lebih Rp 26 triliun.
Ia menambahkan seharusnya skema penyelesaian atau distribusi lahan eks HGU PTPN yang telah hapusbuku bukan berdasar jual beli atau komersialisasi, melainkan mengacu pada SK Gubernur Sumut Tentang Tim B Plus Nomor 593.4/065/K/2000 tanggal 11 Februari tahun 2000 Tentang Penyelesaian Eks HGU PTPN II. (*)