PROSUMUT – Fenomena politik uang atau money politics dlam kontestasi politik di tanah air mendapat sorotan tajam dari peneliti asing.
Persoalan politik uang menjelang pemilu disebut terlalu kompleks. Kendati disadari bahwa hal tersebut terlarang, nyatanya telah menjadi kebiasaan.
Salah satunya melalui modus pembentukan tim sukses.
“Di Indonesia fenomenanya unik, yaitu institusi yang kalau mau nyalonin presiden atau legislatif itu pasti bikin tim sukses,” kata Professor dari Australian National University Edward Aspinall di ITS Tower, Jakarta Selatan, dilansir Medcom, Senin, 8 April 2019.
Edward mengatakan politik uang di Indonesia umumnya tidak dilakukan secara langsung. Politikus yang menjadi peserta pemilu akan bermain sangat aman dalam hal ini. Karenanya, tim sukses merupakan salah satu cara aman untuk memainkan politik uang.
“Kami sering bertemu dengan caleg yang bisa membuat timses sampai ribuan orang. Akhirnya mereka akan mengidentifikasi terhadap komitmen kepada calon yang memintanya. Tentu saja dengan imbalan uang,” ujar Edward.
Nantinya, kata Edward, tim sukses lah yang akan menyalurkan uang dari caleg maupun capres. Pemberian bisa dengan uang maupun dengan barang. Dengan begitu, caleg maupun capres yang bersangkutan akan aman dari sanksi politik uang.
“Di Indonesia sering disebut ‘serangan fajar’ saat pemilu atau bisa juga perbaikan infrastruktur maupun bantuan alat untuk satu daerah,” tutur Edward.
Dari pemberian itu nantinya akan bertimbal balik dengan suara yang harus masuk untuk caleg maupun capres yang memberi. Sistem itu juga dinilai sudah familiar di masyarakat Indonesia.
“Kemudian dari pemberian itu akan dihitung, misalnya dikasih A harus dapat sekian suara,” ucap Edward.
Namun, lanjut Edward, tidak semua masyarakat memberikan suaranya usai ‘disogok’ oleh tim sukses. Tak sedikit masyarakat yang hanya mengambil uang namun calon yang memberi tak mendapatkan kemenangan.
“Biasanya karena kalkulasi dengan sebutan margin eror. Kadang targetnya sudah kasih segini harusnya dapat 10.000 suara cuma dapat 5.000. Nah ini biasanya yang kalah karena margin eror,” kata Edward. (*)